Klarifikasi atas Bid'ah yang Dipahami Imam Syafi'i

Admin 19.00.00 Add Comment
Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imâm Asy-Syâfi’î rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dhalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imâm Asy-Syâfi’î rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Mâidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun”.[1]
Berkata Bakr bin Al-’Alâ’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran”.[2]
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ûd) radhiyallâhu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah”.[3]
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radhiyallâhu ’anhumâ bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah”.[4]
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dhalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radhiyallâhu ’anhâ :
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67). [5]
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radhiyallâhu ’anhuma :
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan”.[6]
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salâfunash-shâlih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nâfi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salâmu ‘alâ Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salâmu ‘alâ Rasûlillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alâ kulli hâl” (Alhamdulillah dalam segala kondisi).[7]
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imâm Mâlik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :
سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Imâm Mâlik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallâhu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallâhu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”.[8]
Kembali pada pembahasan Al-Imâm Asy-Syâfi’î rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imâm Mâlik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imâm Asy-Syâfi’î) pernah berkata:
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at”.[9]
Asy-Syaukanî menukil perkataan Ar-Ruyanî ketika menjelaskan perkataan Asy-Syâfi’î di atas :
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’î atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’î”.[10]
Dalam Ar-Risâlah, Al-Imâm Asy-Syâfi’î rahimahullah mengatakan :
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsân) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”.[11]
Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imâm Asy-Syâfi’î menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsân (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisî Asy-Syâfi’î (seorang pembesar ulama Syâfi’îyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsân), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at”.[12]
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syâfi’î tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imâm Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela”[13]
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabî hafidzahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imâm Asy-Syâfi’î rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul[14].
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
ومراد الشافعي رضي الله عنه ما ذكرناه من قبل أن أصل البدعة المذمومة ما ليس لها أصل في الشريعة ترجع إليه وهي البدعة في إطلاق الشرع
Yang dimaksud oleh Imâm Asy-Syâfi’î radhiyallaahu ‘anhu, yang telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat, yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut (definisi) syar’iat.
وأما البدعة المحمودة فما وافق السنة يعني ما كان لها أصل من السنة ترجع إليه وإنما هي بدعة لغة لا شرعا لموافقتها السنة .
Adapun bid’ah yang terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa); bukan secara syar’î, karena sesuai dengan sunnah.”[15]
Kemudian Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
والبدعة على قسمين
“Bid’ah itu ada dua macam:
: تارة تكون بدعة شرعية ، كقوله : فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة
adakalanya (pelafalan) bid’ah itu (diinginkan) secara makna syar’iatnya  sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
وتارة تكون بدعة لغوية ، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم : نعمت البدعة هذه
Dan adakalanya bid’ah itu secara lughâwî (bahasa), sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminîn ‘Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)”[16]






[1] Shahîh Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402
[2] HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120.
[3] Ad-Darimi no. 223, Al-Lâlikaî dalam Syarh Ushûlil-I’tiqâd no. 14, 114, Al-Hâkim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
[4]  Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawâid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwâ’ : ”  Ath-Thabarani dalam Al-Kabîr, dan rijâl-nya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadhdhâh dalam Kitâbul-Bida’ hal. 39
[5] Al-Bukhârî no. 7380 dan Muslim no. 177]
[6] Al-Laalikai dalam Syarh Ushûlil-I’tiqâd no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah no. 205 dengan sanad shahih.
[7] At-Tirmidzî no. 2738, Hâkim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan]
[8] Al-I’tishâm oleh Asy-Syathibi, 1/49]. Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsân / Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthâlul-Istihsân).
[9] Al-Mankhûl oleh Al-Ghazalî hal. 374, Jam’ul-Jawâmi’ oleh Al-Mahallî 2/395, dan yang lainnya
[10] Irsyâdul-Fuhûl, hal. 240
[11] Ar-Risâlah, hal. 507
[12] Al-Ba’its ‘alaa Inkâril-Bida’ wal-Hawâdits oleh Abu Syâmmah, hal. 50
[13] Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Dârul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H.
[14] ‘Ilmu Ushûlil-Bida’, hal. 121; Dârur-Râyah, Cet. 2/1417
[15] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikâm Hadits no. 28
[16] Tafsir Ibnu Katsir surah Al Baqarah: 117

Tulisan Abul Jauza' Dengan beberapa Perubahan

Mengangkat Tangan Ketika Berdoa

Admin 06.54.00 Add Comment

Oleh : Yulian Purnama
Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung terkabulnya doa. Mari kita bahas secara rinci bagaimana hukum dan tata caranya.
HUKUM ASAL MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA
Tidak kami ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil-dalil mengenai hal ini banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51). Alla Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172). Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud 1488, At Tirmidzi 3556, di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 2070)
As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits-hadits mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam, 2/708)
Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
HUKUM MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA DALAM SUATU IBADAH
Banyak hadits-hadits yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya:
1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah
Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “maksudnya, dalam kondisi khutbah Nabi tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut) beliau berdoa memohon hujan (istisqa)” (Syarhul Mumthi’, 5/215). Menunjukkan bahwa ini dilakukan ketika istisqa baik dalam khutbah istisqa, ataupun dalam khutbah yang lainnya.
2. Ketika berdoa qunut dalam shalat
Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:
فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad 12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)
Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi’ :
صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء
“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)
3. Ketika melempar jumrah
Berdasarkan hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR Bukhari 1753)
4. Ketika wukuf di Arafah
Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu:
كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ «فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو
“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa” (HR. An Nasa’i 3993, Ibnu Khuzaimah 2824, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i)
Dan masih banyak dalil yang lain.
Adapun mengangkat tangan ketika berdoa yang terkait suatu ritual ibadah, hukumnya kembali pada dalil-dalil ibadah tersebut. Jika terdapat dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa mengangkat tangan dalam ibadah tersebut, maka dianjurkan mengangkat tangan. Jika tidak ada dalil, maka tidak disyari’atkan mengangkat tangan.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz berkata: “Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan ketika berdoaistisqa, ketika melempar jumrah yang pertama dan kedua, ketika di awal-awal hari tasyriq, ketika haji wada, dan pada tempat-tempat yang lain. Namun setiap ibadah yang dilakukan di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, jika ketika melakukannya beliau tidak mengangkat kedua tangannya, berarti hal tersebut tidak disyariatkan kepada kita ketika melakukan ibadah tersebut. Ini dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Contohnya ketika khutbah jum’at, khutbah Ied, doa di antara dua sujud dalam shalat, doa-doa dzikir setelah shalat wajib, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Yang disyariatkan kepada kita adalah meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan suatu atau meninggalkan suatu (dalam ibadah)” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz, 26/144).
Karena dengan mengangkat tangan ketika berdoa yang ada dalam suatu ibadah, tanpa adanya dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ini berarti menambah tata cara ibadah tersebut. Contohnya, jika kita mengangkat tangan ketika membaca doa istiftah dalam shalat (yang dibaca sebelum Al Fatihah), padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mencontohkan demikian, maka kita menambah 1 tata cara dalam shalat.
Tata Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa
Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat-riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut namun khilaf ini merupakan khilaf tanawwu’ (variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Namun mengingkat banyak sekali praktek mengangkat tangan dalam berdoa yang beredar di masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek-praktek mengangkat tangan yang dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara-cara yang tidak diketahui asalnya.
Jika kita kelompokkan, praktek-praktek mengangkat tangan dalam berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu ‘AbbasRadhiallahu’anhuma :
المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا
“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk. Al Ibtihal adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud 1489, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6694)
JENIS PERTAMA: Al Mas’alah. Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits:
إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu Daud 1486, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 595)
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:
• Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
• Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
• Sedangkan Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani 5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya 1/326). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
• Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Umumnya bentuk ini yang digunakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa. Namun terkadang beliau beliau berdoa di Arafah dengan cara begini: mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih dikatakan ada di pertengahan dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112)
• Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a, 1/117)
JENIS KEDUA: Al Istighfar. Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112). Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.
Dalil dari jenis ini diantaranya hadits:
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»
“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib) di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini: (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim, 847)
JENIS KETIGA: Al Ibtihal. Yaitu dengan bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangan ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar-benar sulit, mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat-sangat mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau ketika istisqa (memohon hujan). Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke langit” (HR. Muslim 895)
Semoga bermanfaat.

Memahami Arti Dan Makna Bid'ah

Admin 16.12.00 Add Comment
Arti dan makna Bid’ah
Bid’ah secara bahasa, kata Ath-Thurthûsyiy rahimahullah dalam Al-Hawâdits wal-Bida’ (hal. 40) – berasal dari kata al-ikhtirâ’ (الاخْتِرَاع), yaitu sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]
Hal itu sebagaimana firman Allah ta’âla:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Allah Pencipta langit dan bumi” [ QS. Al-Baqarah : 117].

Artinya : Allah ta’ala adalah Pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
Ibnul-Mandhûr rahimahullah berkata : “(بدع الشيء يبدعه بدعاً وابتدعه), artinya : memulainya dan menciptakannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعاً مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul” [QS. Al-Ahqâf : 9].
Maksudnya : Aku bukanlah orang yang pertama kali diutus. Sungguh telah banyak Rasul yang diutus sebelumku.
Jika dikatakan Fulân bada’a fî hadzal-amr, maksudnya : Fulân adalah orang yang pertama melakukannya tanpa ada pendahulunya seorang pun [2]
Adapun secara istilah, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat Pertama
Bid’ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan setelah jaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, baik yang terpuji (mahmûd) maupun yang tercela (madzmûm). Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syâfi’î, Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salâm, Al-Qarrâfî, Al-Ghazzâlî, Ibnul-Atsîr, An-Nawawî, dan yang lainnya.
Asy-Syâfi’î rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah ada dua macam : bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itu yang terpuji; sedangkan bid’ah yang menyelisihi sunnah, maka itu yang tercela”.[3]
Pendapat Kedua
Bid’ah tidaklah dimutlakkan kecuali jika menyelisihi sunnah dan bermakna tercela. Abu Syammâh Al-Maqdisî rahimahullah menjelaskan:
وقد غَلَبَ لفظ (البِدعةِ) على الحَدَثِ المكروهِ في الدِّينِ مهما أُطْلِقَ هذا اللفظُ، ومثلُه لفظُ (المُبْتَدِع) لا يكادُ يُستَعْمَلُ إِلاَّ فِي الذَّمِّ
“Pada umumnya, lafadh al-bid’ah dimaksudkan pada perkara baru yang dibenci dalam agama, seperti halnya lafadh al-mubtadi’ hampir tidak digunakan kecuali dalam konteks celaan” [4]
Oleh karena itu, menurut pendapat ini, bid’ah secara istilah hanya satu makna, yaitu tercela. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syâthibî, Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar Al-Haitamî, Ibnu Rajab Al-Hanbalî, Ibnu Taimiyyah, Az-Zarkasyî, dan yang lainnya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وقد قررنا في قاعدة السنة والبدعة أن البدعة في الدين هي ما لم يشرعه الله ورسوله وهو ما لم يأمر به أمر إيجاب ولا استحباب فأما ما أمر به أمر إيجاب أو استحباب وعلم الأمر به بالأدلة الشرعية فهو من الدين الذي شرعه الله وإن تنازع أولو الأمر في بعض ذلك وسواء كان هذا مفعولا على عهد النبي أو لم يكن فما فعل بعده بأمره من قتال المرتدين والخوارج المارقين وفارس وفارس والروم والترك وإخراج اليهود والنصارى من جزيرة العرب وغير ذلك هو من سنته
“Telah kami tetapkan tentang kaedah sunnah dan bid’ah, bahwasannya bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu perkara yang tidak diwajibkan atau disunnahkan untuk mengerjakannya. Adapun perkara yang diperintahkan untuk mengerjakannya, baik yang diwajibkan atau yang disunnahkan, berdasarkan dalil-dalil syar’î, maka hal tersebut termasuk agama yang disyari’atkan Allah – meskipun dalam sebagiannya diperselisihkan para ulama - , baik yang telah dilakukan di jaman Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam maupun yang belum dilakukan. Maka, segala hal yang dilakukan sepeninggal beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam seperti memerangi orang-orang murtad, orang Kahwârij, orang Persi, orang Romawi, orang Turki, serta mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari jazirah ‘Arab, dan yang lainnya; maka itu termasuk sunnahnya shallallâhu ‘alaihi wa sallam”.[5]
Asy-Syathibî rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut untuk berlebih-lebihan dalam perubadahan kepada Allah subhânah”.
Ini adalah pendapat kelompok yang adat tidak masuk dalam makna bid’ah, karena bid’ah hanya dikhususkan dalam permasalahan ibadah. Pendapat kelompok yang memasukkan adat dalam makna bid’ah, maka definisinya:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut sama seperti tujuan menjalankan syari’at” [6]
Definisi yang dibawakan Asy-Syâthibi rahimahullah di atas adalah definisi yang lebih komprehensif.
Mana yang râjih antara Pendapat Pertama dan Pendapat Kedua ?
Jawab : Pendapat Kedua, dengan dalil:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: " صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "، وَيَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: " أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jâbir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkatân adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan" Diriwayatkan oleh Muslim no. 867.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd : Bahwasannya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkatân dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkatân (kalâm) adalah Kalâmullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "
Dari ‘Irbâdl bin Sâriyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyî. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Dâwud no. 4607; shahih].
Nash-nash di atas secara tegas dan jelas memutlakkan semua kebid’ahan sebagai kesesatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ "
Dari Ibnu ‘Abbâs, ia berkata : “Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun kecuali mereka membuat-buat kebid’ahan padanya dan mematikan sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah”.[7]
عَنْ عَبْد اللَّهِ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ وَالتَّنَطُّعَ وَالتَّعَمُّقَ، وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيقِ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd, ia berkata : “Berhati-hatilah kalian dari berbuat bid’ah dan memaksakan diri dalam berbicara. Wajib bagi kalian berpegang pada ajaran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam”.[8]
‘Umar bin ‘Abdil-‘Azîz rahimahullah pernah berwasiat kepada sebagian pegawainya:
أوصيك بتقوى الله، والاقتصاد في أمره، واتباع سنة رسوله صلى الله عليه وسلم وترك ما أحدث المحدثون بعده فيما جرت به سنته، وكُفوا مؤنته، واعلم أنه لم يبتدع إنسانٌ بدعة إلا قدّم له قبلها ما هو دليل عليها، وعبرة فيها. فعليك بلزوم السنة فإنه لك بإذن الله عصمة، واعلم أن من سن السنن قد علم ما في خلافها من الخطأ والزلل والتعمق والحمق، فإن السابقين عن علم وقفوا وببصر نافذ كَفُّوا، وكانوا هم أقوى على البحث ولم يبحثوا
“Aku nasihatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, bersikap sederhana dalam perkara-Nya, mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dan meninggalkan segala hal yang diada-adakan oleh pembuat bid’ah sepeninggal beliau terhadap apa-apa yang telah berlaku sunnahnya, dan dicukupkan bagi mereka bebannya. Ketahuilah, bahwa tidaklah manusia membuat-buat bid’ah kecuali telah ada dalil yang menjelaskan atas hal tersebut atau pelajaran yang ada di dalamnya (tentang hal itu). Maka wajib bagimu untuk berpegang pada sunnah, karena ia penjaga bagimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang menjalankan sunnah-sunnah, ia akan mengetahui segala sesuatu yang menyelesihinya (sunnah) termasuk kekeliruan, kekurangan, berlebih-lebihan, dan kedunguan. Sesungguhnya orang-orang terdahulu dalam hal ilmu (yaitu as-salafush-shâlih) telah berhenti dan menahan diri berdasarkan ilmu mereka yang tajam, padahal mereka adalah orang yang paling kuat dalam membahas namun ternyata mereka tidak membahasnya…”.[9]
Tiga atsar di atas menunjukkan bahwa sunnah dan bid’ah adalah sesuatu yang berlawanan, sehingga sesuatu yang terpuji dan harus dipegang teguh disebut sunnah serta yang tercela dan harus diwaspadai disebut bid’ah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun orang-orang memandangnya baik”.[10]
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ini memutlakkan bid’ah sebagai kesesatan dan sekaligus menafikkan kemungkinan makna bid’ah secara istilah sebagai sesuatu yang baik.
Bid’ah secara Lughawi dan Syar’î
Pembagian bid’ah dari sisi lughawî dan syar’î telah disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna bid’ah secara lughawî yang secara ringkasnya adalah segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mencakup yang tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah secara syar’î adalah khusus untuk makna yang tercela.
Al-Hâfidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات " بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع " بِدْعَة " وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsât’ adalah jamak dari kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang baru/diadakan, tidak ada asalnya dalam syari’at, dan kemudian dinamakan dalam ‘urf syari’at dengan bid’ah. Adapun segala sesuatu yang mempunyai asal yang ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah tercela. Berbeda halnya dengan bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun tercela” [11]
وَأَمَّا " الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah meliputi segala sesuatu, baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan dikhususkan dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’i (ulama syari’at) untuk sesuatu yang tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka maknanya adalah (bid’ah) lughawî”.[12]
Al-Hâfidh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
“Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia  menjadi bid’ah yang syar’î seperti sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya setiap hal yang baru (muhdats) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Dan kadang menjadi bid’ah secara bahasa, seperti perkataan Amîrul-Mukminîn ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallâhu ‘anhu dalam usahanya untuk mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dan terus menerus melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini”[13].
Al-Hâfidh Ibnu Rajab Al-Hanbalî rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية ، فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت البدعةُ هذه .
“Sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap bid’ah adalah kesesatan’ termasuk jawâmi’ul-kalim[14], yang tidak keluar dari keumumannya. Dan ia merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan menyerupai sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak’. Maka setiap orang yang mengadakan sesuatu, lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut tidak ada asalnya dari agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan agama pun berlepas diri darinya. Baik pada perkara keyakinan maupun amalan, yang dhahir maupun yang batin.
Adapun yang ada dalam perkataan salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah ada pada bid’ah lughawiyyah (secara bahasa), bukan syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dalam bagian tersebut adalah perkataan ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih di bulan Ramadhân dengan satu imam di masjid, serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya juga : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [15]
Perkataan Ibnu Rajab tersebut juga disitir oleh Al-Mubârakfurî dalam Tuhfatul-Ahwadzî 7/439-440.
Jika kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu yang mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dengan satu imam di masjid bukan termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam berhenti melakukannya karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada mereka, sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya[16].
Ketika beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tidak ada. Tidak ada kewajiban selain apa yang diwajibkan oleh beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah berkata:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah wafat), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [17]
 Oleh karena itu, pensyari’atan pelaksanaan shalat tarâwih kembali pada keumuman sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”.[18]
Suatu perkara yang ditinggalkan atau tidak ada dilakukan di jaman Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu dilakukan sepeninggal beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena faktor penghalangnya sudah tidak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah secara syari’î. Contohnya adalah shalat tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana dilakukan (kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallâhu ‘anhu. Contoh lain adalah pengumpulan mushhaf di jaman Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu.
Dengan demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’, bukan dalam konteks makna syar’î, namun lughawî sebagaimana dikatakan para ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yang terpuji.
Lain halnya jika ada orang yang melakukan halaqah-halaqah dzikir berjama’ah khusus yang dipimpin oleh orang tertentu, maka ini bid’ah dalam makna syari’î (tercela) sehingga dicela oleh Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu. Begitu pula ketika ada orang yang mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ini juga bid'ah sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Tidak ada faktor penghalang bagi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan dua perbuatan, namun kenyataannya beliau tidak melakukannya. Tidak ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dalam perkara ini.




[1] Al-Hawâdits wal-Bida’ (hal. 40)
[2] Ibnul-Mandhûr , Lisânul-‘Arab, 8/6-8.
[3] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ’, 9/113
[4] Al-Bâ’its ‘alâ Inkâril-Bida’ wal-Hawâdîts, hal. 20.
[5] Majmû’ Al-Fatâwâ, 4/107-108
[6] Al-I’tishâm, 1/37.
[7] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarâniy dalam Al-Kabîr, 10/319 no. 10610.

[8] Diriwayatkan oleh Ad-Dârimî 1/54 dan Ibnu Baththah dengan sanad shahih
[9] Shahîh Sunan Abi Dâwud  no. 4612. Lihat : Takhrîj Asy-Syarî’ah, atsar no. 29
[10] Diriwayatkan oleh Al-Marwazî dalam As-Sunnah no. 83, Al-Baihaqî dalam Al-Madkhal no. 191, dan Al-Lâlikâ’î dalam Syarh ushûlil-I’tiqâd no. 126.
[11] Fathul-Bârî, 13/253.
[12] Fathul-Bârî, 13/278.
[13] Tafsîr Ibnu Katsîr, 1/398
[14] Perkataan singkat namun mengandung makna yang banyak dan luas
[15] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, hal. 597 – tahqiq : Al-Fahl.
[16] Diriwayatkan oleh Al-Bukhârî no. 882 dan Muslim no. 761
[17] Al-Istidzkaar, 1/62-63
[18] Diriwayatkan oleh Abu Dâwud no. 1375, At-Tirmidzî no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’î no. 1364 dan 1605, Ibnu Mâjah no. 1327, dan yang lainnya; shahih