Akidah

Al-Quran

Fiqih

Recent Posts

"Hukum Shalat Saat Makanan Telah Tersaji"

Admin 21.45.00 Add Comment

Manakah yang mesti didahulukan saat makan malam -misalnya- telah tersaji, apakah makan dulu baru mengerjakan shalat? Atau bagaimana?
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (Shahih Muslim no. 560).
Dalam hadits dari Anas radliyallahu ‘anhu disebutkan,
إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” 
(Shahih al-Bukhari no. 673 dan Shahih Muslim no. 557).
Yang Dinafikan dalam Hadits
Jika disebutkan tidak dengan kata “la” dalam hadits, maka yang dimaksud bisa tiga makna:
(1) la yang menafikan keberadaan, artinya tidak ada,
(2) la yang menafikan kesahan, artinya tidak sah,
(3) la yang menafikan kesempurnaan, artinya tidak sempurna.
Demikian maksud penjelasan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-‘Utsaimin.
Kalau dimaknakan dengan makna peniadaan secara total, tidaklah tepat karena masih saja ada orang yang shalat saat makanan sudah disajikan atau sambil menahan kentut.
Kalau shalat saat makanan tersaji tidak sah, ini bisa jadi menurut ulama yang berpendapat kekhusyu’an itu wajib ada di dalam shalat. Jika dalam shalat terlalu sibuk dengan hal-hal lain di luar shalat, shalatnya tidaklah sah.
Kalau kita nyatakan bahwa kekhusyu’an adalah sunnah shalat, bukanlah wajib sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, berarti “la” yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurna. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang lebih tepat, kalimat dalam hadits berarti “tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan”.
Berarti, dapat kita sebut bahwa shalat saat makanan telah tersaji, hukumnya makruh.
Faedah Hadits
Beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari hadits:
1- Islam sangat perhatian terhadap shalat sampai-sampai memerintahkan untuk konsentrasi dalam shalat dan menghilangkan pikiran di luar shalat.
2- Shalat dengan penuh kekhusyu’an lebih utama daripada shalat di awal waktu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan untuk makan lebih dulu supaya kekhusyu’an shalat tidak terganggu dengan hadirnya makanan.
3- Memilih untuk menyantap makan tidaklah mengapa walau shalat jama’ah nantinya luput. Kalau menyantap saat waktu shalat itu bukan rutinitas dan telah rutin mengerjakan shalat secara berjama’ah, maka pahala berjama’ah tetap dicatat. Hal ini berdasarkan hadits,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba dalam keadaan sakit atau safar/dalam perjalanan, maka akan dicatat baginya semisal keadaan beramalnya saat muqim (tidak safar/dalam perjalanan) atau saat sehat (tidak sakit).” (Shahih al-Bukhari no. 2996).
Makan saat shalat berjama’ah termasuk uzur yang sama dengan hadits ini, sehingga juga akan dicatat sama halnya ketika sakit atau safar/dalam perjalanan.
4- Jika makanan belum dihidangkan saat sudah merasa lapar, maka tetap shalat dikerjakan lebih dulu. Hadits di atas dimaksudkan mendahulukan shalat jika makanan telah tersaji. Karena saat itu kecenderungan hati lebih besar dibanding saat makanan belum hadir.
Jadi prinsipnya bukanlah “ketika lapar lebih baik makan daripada shalat.” Prinsip yang dimaksud dalam hadits adalah “mendahulukan makan dari shalat saat makanan telah tersajikan.”
5- Maksud dari mendahulukan makan dari shalat adalah ketika benar-benar dalam keadaan butuh untuk makan (benar-benar lapar). Karena sebab larangan mendahulukan shalat kala itu adalah karena masalah khusyu’ dan konsentrasi hati. Jika hati tidak begitu butuh pada makan, maka tidak jadi larangan mendahulukan shalat saat itu. Karena ada kaidah yang menyatakan “al-hukmu yaduru ma’a 'illatihi wujudan au ‘adaman”, hukum itu berputar pada ada atau tidaknya illah/sebab/pengecualian.
6- Jika makanan telah tersaji namun saat itu tidak boleh disantap, maka bukan berarti shalat mesti ditinggalkan.
Misalnya, jika belum shalat Ashar dan kita baru terbangun saat mendekati matahari terbenam dan masih belum waktu berbuka shaum, namun makanan telah tersaji. Maka tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak shalat Ashar saja karena makanan telah tersaji, tunda saja shalat tersebut sampai berbuka. Yang benar, shalat Ashar tetap dikerjakan meskipun makanan belum bisa disantap karena  memang belum saatnya waktu berbuka.
7- Jika ada makanan porsi besar dan makanan ringan saat berbuka shaum, maka yang lebih baik tetap mendahulukan makanan ringan, barulah setelah shalat Maghrib dilanjutkan dengan makanan berat.
Demikian kesimpulan dari penjelasan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-‘Utsaimin.
Semoga sajian di atas bermanfa'at. Amin ya mujibas-sa`ilin
Wal-'llahu a'lam bis-shawab

Hukum Kirim pahala Bacaan Al-Qur'an Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah

Admin 02.38.00 Add Comment
Perdebatan mengenai boleh tidaknya mengirim bacaan Al-Qur'an, Al-Fatihah atau lainnya kepada orang yang sudah meninggal merupakan perdebatan yang masih terus berlangsung. Pro maupun kontra terus terjadi. Hal ini secara tidak langsung membawa dampak yang kurang baik bagi persatuan umat Islam. 
Perdebatan yang berlarut-larut ini menimbulkan sikap anti-pati, ekstrim baik yang mengamalkan maupun menolak.  Kalangan yang menolak tidak jarang mencap  atau memberi stempel Bid'ah atau Ahlu Bid'ah terhadap kalangan yang pro, dan yang mengamalkannya, sementara yang mengamalkan atau yang pro malah mencap atau memberi stempel 'Wahaby" kepada yang menolak. Hal ini tentu saja merugikan umat Islam itu sendiri. karena tidak ada kebaikan dari perdebatan ini selain menghasilkan permusuhan.

hukum mengirim bacaan al-quran al-fatihah kepada orang yang sudah meninggal mayit
Tulisan ini tidak bermaksud membela salah satu pihak, dalam hal ini terhadap Pihak yang Pro mengirim bacaan Al-Qur'an kepada orang yang telah meninggal. Akan tetapi penulis mencoba mengangkat sesuatu yang mungkin tidak diketahui, agar kita bisa bersikap bijak terhadap perbedaan.

Kalangan yang menolak sering kali memberi alasan penolakan terhadap mengirim bacaan Al-Qur'an kepada orang yang telah meninggal dengan kaidah "Lau Kaana Khairan Lasabaquunnaa Ilaihi" :Seandainya Amalan itu baik niscaya Para Shahabat Nabi telah Mendahui kita dalam Mengamalkannya


Artinya ketika mereka menolak mereka akan mengajukan argumen yakni dengan 3 pertanyaan: 

(1). Apakah Nabi dan para Sahabat pernah mengirimkan pahala bacaan Quran kepada mayat?,
 (2). Kalau kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjurkan umatnya untuk melakukan itu, dan 
(3). Kalau kirim pahala bacaan Quran itu baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.

 Sekarang, mari kita lihat pula bagaimana sikap ulama besar semisal Ibnul Qayyim al-Jauziyyah; murid terdekat dari syaikh Ibn Taimiyah, saat dihadapkan pada pertanyaan atau pernyataan seperti di atas; apakah beliau diam menyerah lantaran sudah terdesak oleh 'kebenaran', atau malah tetap menjawab dan mengomentarinya.

Untuk mengetahui hal itu, kita bisa menelaah salahsatu karya tulisnya yang dikenal dengan nama ar-Ruuh. Kabarnya, kitab ini menuai kontroversial di kalangan salafi. Ada yang menerima secara penuh, menolak totalitas, dan ada juga yang menerima dengan catatan. Diantara catatannya, kitab ini dianggap sebagai presentasi dari keilmuan Ibnul Qayyim Rahimahullah sebelum berguru kepada syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Padahal, dalam kitab itu jelas sekali beliau menyebutkan nama sang guru, ditambah lagi adanya kesamaan pandangan yang dikemukakan Ibnul Qayyim rahimahullah di dalamnya, dengan penjelasan oleh Ibn Taimiyah rahimahullah dalam Majmuu` Fataawi-nya.

Dalam kitab ar-Ruuh terkait persoalan amalan kirim pahala bacaan Quran, Ibnul Qayyim Rahimahullah terlihat setuju dengan pendapat yang mengatakan amalan itu boleh dilakukan. Bahkan, beliau membantah argumentasi kalangan yang berpendapat sebaliknya.

Nah, salah satu argumentasi mereka yang beliau bantah adalah seperti berikut ini, yaitu:

فإن قيل : فهذا لم يكن معروفًا في السلف، ولا يمكن نقله عن واحد منهم مع شدة حرصهم على الخير، ولا أرشدهم النبي صلى الله عليه وسلم، وقد أرشدهم إلى الدعاء، والاستغفار، والصدقة، والحج، والصيام؛ فلو كان ثواب القراءة يصل لأرشدهم إليه، ولكانوا يفعلونه.

"Jika ada yang bertanya, amalan kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu tidak dikenal di kalangan Salaf. Tidak ada orang yang bisa menukil keberadaan amalan seperti itu dari satu orang Salaf saja, sementara para Salaf itu sangat kuat perhatiannya dengan amalan yang baik. Dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan pada para Salaf tentang amalan kirim pahala bacaan Quran, sementara Nabi jelas pernah mengajarkan pada mereka tentang mendoakan dan memohon ampunan untuk orang mati, bersedekah, menghajikan dan berpuasa untuk orang mati. JADI, KALAU MEMANG KIRIM PAHALA BACAAN QURAN ITU SAMPAI KEPADA MAYAT, MAKA OTOMATIS NABI TELAH MENGAJARKANNYA, DAN MEREKA PUN TENTU MELAKUKANNYA".

Perhatikan, Ibnul Qayyim di sini secara jelas membuat semacam pernyataan yang isinya senada dengan pernyataan yang biasa ditembakkan oleh jemaah salafi, ketika kita berdebat dalam persoalan semacam ini. Lantas, bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menyikapi hal ini?

Beliau ternyata menjawab dengan jawaban seperti berikut ini:

فالجواب : أن مورد هذا السؤال إن كان معترفًا بوصول ثواب الحج، والصيام، والدعاء، والاستغفار، قيل له : ما هذه الخاصية التي منعت وصول ثواب القرآن، واقتضت وصول ثواب هذه الأعمال ؟ وهل هذا إلا تفريق بين المتماثلات ؟

"Jawabannya, jika si penanya dengan pertanyaan semacam ini mengakui kiriman pahala haji, puasa, doa dan istighfar itu bisa sampai kepada mayat, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa penyebab khusus yang membuat kiriman pahala bacaan Quran tidak sampai, sedangkan kiriman pahala ibadah selain itu justru bisa sampai? Bukankah ini hanya sekedar membeda-bedakan antara perkara-perkara yang serupa?".

وإن لم يعترف بوصول تلك الأشياء إلى الميت، فهو محجوج بالكتاب والسنة والإجماع وقواعد الشرع.

"Tapi kalau si penanya itu tidak mengakui kiriman pahala semua amal ibadah tadi itu bisa sampai, maka orang seperti ini bisa ditundukkan terkait hal ini dengan merujuk pada dalil Quran, Sunnah, Ijmak dan kaidah-kaidah Syariat".

Lalu, Ibnul Qayyim menjelaskan kenapa amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak terlacak di kalangan salaf. Beliau mengatakan:

وأما السبب الذي لأجله [ لا ] يظهر ذلك في السلف، فهو أنهم لم يكن لهم أوقاف على من يقرأ ويهدي إلى الموتى، ولا كانوا يعرفون ذلك ألبتة، ولا كانوا يقصدون القبر للقراءة عنده كما يفعله الناس اليوم، ولا كان أحدهم يشهد من حضره من الناس على أن ثواب هذه القراءة لفلان الميت، ولا ثواب هذه الصدقة والصوم.

"Penyebab amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak nampak di masa salaf adalah, karena mereka tidak memiliki harta wakaf untuk diberikan pada orang yang baca Quran dan menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat. Bahkan, salaf samasekali tidak mengenali kegiatan seperti itu. Mereka juga tidak mendatangi kuburan untuk membaca Quran seperti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Mereka juga tidak pernah memberitahukan pada rekannya, bahwa pahala bacaan Quran-nya saat itu ditujukan untuk mayat si anu, begitu pula dengan pahala ibadah sedekah dan puasanya".

Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan:

ثم يقال لهذا القائل : لو كلفت أن تنقل عن واحد من السلف أنه قال : اللهم ثواب هذا الصوم لفلان، لعجزت؛ فإن القوم كانوا أحرص شيئ على كتمان أعمال البر، فلم يكونوا ليشهدوا على الله بإيصال ثوابها إلى أمواتهم.

"Sampaikan pada si penanya, andai anda ditugaskan untuk mencari keterangan dari satu orang salaf saja, yang pernah mengatakan: Ya Allah, pahala puasa saya ini untuk si Anu, maka dijamin anda tidak akan bisa melakukannya. Sebab, Salaf itu sangat suka menyembunyikan amal kebaikannya, sehingga mereka tidak pernah memberitahukan bahwa bahwa pahala amal kebaikannya ditujukan untuk orang-orang yang wafat dari kalangannya".

Tidak hanya sampai di situ, Ibnul Qayyim kembali mengulangi pertanyaan mereka yang serupa, dengan mengatakan:

فإن قيل : فرسول الله صلى الله عليه وسلم أرشدهم إلى الصوم، والصدقة، والحج؛ دون القراءة.

"Jika ada lagi yang bertanya, tapi kan Rasulullah pernah mengajarkan para sahabat terkait berpuasa, bersedekah, dan berhaji untuk orang yang mati, sedangkan membaca Quran untuk orang mati Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada mereka".

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menjawab:

قيل : هو صلى الله عليه وسلم [ لا] يبتدئهم بذلك، بل خرج ذلك منه مخرج الجواب لهم، فهذا سألهم عن الحج عن ميته فأذن له، وهذا سأله عن الصيام عنه فأذن له، وهذا سأله عن الصدقة فأذن له، ولم يمنعهم مما سوى ذلك. وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك؛ بين وصول ثواب القراءة والذكر؟!

"Jawabannya, bukan Nabi yang memulai membahas hal itu, melainkan penjelasan Nabi terkait itu merupakan jawaban dari pertanyaan mereka. Ada sahabat bertanya tentang menghajikan keluarganya yang telah wafat, lalu Nabi mengizinkan. Ada pula sahabat bertanya tentang berpuasa untuk orang yang wafat, lalu Nabi lagi-lagi membolehkan. Ada lagi sahabat bertanya tentang bersedekah untuk orang mati, lantas Nabi juga mengizinkan. Dan Nabi samasekali tidak melarang mereka melakukan yang lainnya. Apa sih bedanya, antara sampainya kiriman pahala puasa yang hanya berupa niat dan menahan diri, dengan sampainya kiriman pahala bacaan Quran dan zikir?!".

Ibnul Qayyim rahimahullah secara tegas lagi mengatakan:

والقائل إن أحدًا من السلف لم يفعل ذلك قائل ما لا علم له له، فإن هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، فما يدريه أن السلف كانوا يفعلون ذلك ولا يشهدون من حضرهم عليه؟ بل يكفي اطلاع علام الغيوب على نياتهم ومقاصدهم، لا سيما والتلفظ بنية الإهداء لا يشترط كما تقدم.

"Orang yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari kalangan Salaf yang melakukan pengiriman pahala bacaan Quran, pada hakikatnya dia itu telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebab, ucapan seperti itu menunjukkan bahwa dirinya bersaksi atas sesuatu yang dia sendiri belum ketahui. Bisa jadi, dia tidak tahu bahwa Salaf justru pernah mengirimkan pahala bacaan Quran-nya, tanpa memberitahukan hal itu kepada sesamanya. Padahal, dengan menyampaikan niat dan tujuan kepada Allah saja, itu sudah cukup. Terlebih lagi, melafalkan niat menghadiahkan pahala amal ibadah itu bukanlah sebuah syarat yang mesti dilakukan.

Kesimpulan
1. Persoalan Hukum mengirim Pahala bacaan Al-Qur'an sudah menjadi ikhtilaf para ulama sejak dahulu kala.
2. Sikap hukum Imam Ibnul Qayyim terhadap masalah ini adalah membolehkan, artinya beliau membolehkan mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.
3. Karena persoalan ini adalah masalah ikhtilaf, maka sebaiknya kita sebagai penuntut Ilmu bersikap bijak terhadap perbedaan pendapat, tidak mudah memvonis "bid'ah", kepada mereka yang melakukannya atau memvonis "wahaby" kepada mereka yang tidak membolehkan mengirim pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.

Wallahu A'lam.

Inilah Dalil Larangan Menyalatkan Kaum Munafik “Pembela Penista Agama”

Admin 02.06.00 Add Comment
Hasil Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) menetapkan Sanksi agama bagi pendukung penista agama dan pemilih pasangan calon pemimpin non-Muslim. Keputusan itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw dan fatwa para ulama.
Dalam Al Qur’an, Allah Swt mengingatkan dalam surah Ali Imran:152 tentang sumber kekalahan kaum muslimin. Surah Hud: 15-16 tentang akibat buruk orang yang memilih kepentingan duniawi sebagai orientasi perjuangannya. Kemudian Surah at-Taubah:113-114: tentang larangan bagi Nabi saw dan kaum mu’minin memintakan ampun kepada Allah terhadap orang musyrik. Surah at-Taubah: 80, 84 tentang ditolaknya pertobatan orang munafik dan larangan al-Quran menyolati dan mendoakan jenazah orang munafik.
Dalam hadits Anas bin Malik ra: “Setiap ada jenazah yang mau disholatkan, Nabi saw selalu bertanya: “hal ‘alaa shahibikum daynun, apakah Sahabat kalian ini tersangkut hutang-piutang.” Sahabat lain berkata: “huwa ‘alayya, hutangnya aku yang bayar.” Jika tidak, Nabi bersabda: “shalluw ‘alaa shahibikum”, sholati sahabat kalian itu. (HR Thabarani, al-Ausath, hadits hasan). Mafhum mukhalafahnya: orang yang tidak bayar hutang saja, tidak dishalatkan; apalagi yang tingkat kesalahannya berada di atasnya.
Umar bin Khatthab dan Hudzaifah Ibnul Yaman (ra), tidak mau menyolati mayat munafik. Zaid bin Wahab meriwayatkan: “seorang dari kaum munafik, meninggal dunia. Hudzaifah Ibnul Yaman (ra) tidak ikut terlihat menyolati jenazah. Umar (ra) bertanya: “lima la tushalli”, Amanil qaumu huwa? Jawab Hudzaifah: “na‘am.” Umar: “Billaahi minhum anaa?”, demi Allah, termasukkah aku dari mereka. Hudzaifah: “laa, wa lan akhbar bihi ba‘daka.” Setelah ini, aku tidak akan bocorkan daftar mereka.”
Dalam Fatwa Penyusun Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Juz 21:41): “Nabi saw tidak menyolati jenazah munafik setelah turunnya surah at-Taubah: 84, dan tidak mendoakannya di kuburan. Mayat Munafik tidak boleh disholatkan oleh jamaah yang mengetahui bahwa orang itu benar-benar munafik sewaktu hidupnya. Bagi jamaah yang tidak mengetahuinya, boleh menyolatkan jenazah orang itu, seperti dilakukan oleh Hudzaifah Ibnul Yaman dan Umar bin Khatthab ra.
Fatwa Ahlul-‘Ilmi menyebutkan, Fatwa Abu Ishaq as-Syirazi rahimahullah, Kitab al-Muhadzzab (Juz 1:250) tentang larangan menyolati jenazah munafik nyata; Fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah, Grand Mufti Saudi Arabia di zamannya:
Soal “jika mayat itu sudah dikenal sebagai munafik, apakah perlu disholat-jenazahkan? Jawabnya, “Jika kemunafikannya sudah terang benderang, maka ia tidak disholatkan. Berdasarkan firman Allah, at-Taubah:84. Jika tanda kemunafikannya, samar. Ia tetap disholatkan. (www.binbaz.org.sa). (desastian)