"Hukum Shalat Saat Makanan Telah Tersaji"

Admin 21.45.00 Add Comment

Manakah yang mesti didahulukan saat makan malam -misalnya- telah tersaji, apakah makan dulu baru mengerjakan shalat? Atau bagaimana?
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (Shahih Muslim no. 560).
Dalam hadits dari Anas radliyallahu ‘anhu disebutkan,
إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” 
(Shahih al-Bukhari no. 673 dan Shahih Muslim no. 557).
Yang Dinafikan dalam Hadits
Jika disebutkan tidak dengan kata “la” dalam hadits, maka yang dimaksud bisa tiga makna:
(1) la yang menafikan keberadaan, artinya tidak ada,
(2) la yang menafikan kesahan, artinya tidak sah,
(3) la yang menafikan kesempurnaan, artinya tidak sempurna.
Demikian maksud penjelasan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-‘Utsaimin.
Kalau dimaknakan dengan makna peniadaan secara total, tidaklah tepat karena masih saja ada orang yang shalat saat makanan sudah disajikan atau sambil menahan kentut.
Kalau shalat saat makanan tersaji tidak sah, ini bisa jadi menurut ulama yang berpendapat kekhusyu’an itu wajib ada di dalam shalat. Jika dalam shalat terlalu sibuk dengan hal-hal lain di luar shalat, shalatnya tidaklah sah.
Kalau kita nyatakan bahwa kekhusyu’an adalah sunnah shalat, bukanlah wajib sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, berarti “la” yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurna. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang lebih tepat, kalimat dalam hadits berarti “tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan”.
Berarti, dapat kita sebut bahwa shalat saat makanan telah tersaji, hukumnya makruh.
Faedah Hadits
Beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari hadits:
1- Islam sangat perhatian terhadap shalat sampai-sampai memerintahkan untuk konsentrasi dalam shalat dan menghilangkan pikiran di luar shalat.
2- Shalat dengan penuh kekhusyu’an lebih utama daripada shalat di awal waktu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan untuk makan lebih dulu supaya kekhusyu’an shalat tidak terganggu dengan hadirnya makanan.
3- Memilih untuk menyantap makan tidaklah mengapa walau shalat jama’ah nantinya luput. Kalau menyantap saat waktu shalat itu bukan rutinitas dan telah rutin mengerjakan shalat secara berjama’ah, maka pahala berjama’ah tetap dicatat. Hal ini berdasarkan hadits,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba dalam keadaan sakit atau safar/dalam perjalanan, maka akan dicatat baginya semisal keadaan beramalnya saat muqim (tidak safar/dalam perjalanan) atau saat sehat (tidak sakit).” (Shahih al-Bukhari no. 2996).
Makan saat shalat berjama’ah termasuk uzur yang sama dengan hadits ini, sehingga juga akan dicatat sama halnya ketika sakit atau safar/dalam perjalanan.
4- Jika makanan belum dihidangkan saat sudah merasa lapar, maka tetap shalat dikerjakan lebih dulu. Hadits di atas dimaksudkan mendahulukan shalat jika makanan telah tersaji. Karena saat itu kecenderungan hati lebih besar dibanding saat makanan belum hadir.
Jadi prinsipnya bukanlah “ketika lapar lebih baik makan daripada shalat.” Prinsip yang dimaksud dalam hadits adalah “mendahulukan makan dari shalat saat makanan telah tersajikan.”
5- Maksud dari mendahulukan makan dari shalat adalah ketika benar-benar dalam keadaan butuh untuk makan (benar-benar lapar). Karena sebab larangan mendahulukan shalat kala itu adalah karena masalah khusyu’ dan konsentrasi hati. Jika hati tidak begitu butuh pada makan, maka tidak jadi larangan mendahulukan shalat saat itu. Karena ada kaidah yang menyatakan “al-hukmu yaduru ma’a 'illatihi wujudan au ‘adaman”, hukum itu berputar pada ada atau tidaknya illah/sebab/pengecualian.
6- Jika makanan telah tersaji namun saat itu tidak boleh disantap, maka bukan berarti shalat mesti ditinggalkan.
Misalnya, jika belum shalat Ashar dan kita baru terbangun saat mendekati matahari terbenam dan masih belum waktu berbuka shaum, namun makanan telah tersaji. Maka tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak shalat Ashar saja karena makanan telah tersaji, tunda saja shalat tersebut sampai berbuka. Yang benar, shalat Ashar tetap dikerjakan meskipun makanan belum bisa disantap karena  memang belum saatnya waktu berbuka.
7- Jika ada makanan porsi besar dan makanan ringan saat berbuka shaum, maka yang lebih baik tetap mendahulukan makanan ringan, barulah setelah shalat Maghrib dilanjutkan dengan makanan berat.
Demikian kesimpulan dari penjelasan Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-‘Utsaimin.
Semoga sajian di atas bermanfa'at. Amin ya mujibas-sa`ilin
Wal-'llahu a'lam bis-shawab

Hukum Kirim pahala Bacaan Al-Qur'an Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah

Admin 02.38.00 Add Comment
Perdebatan mengenai boleh tidaknya mengirim bacaan Al-Qur'an, Al-Fatihah atau lainnya kepada orang yang sudah meninggal merupakan perdebatan yang masih terus berlangsung. Pro maupun kontra terus terjadi. Hal ini secara tidak langsung membawa dampak yang kurang baik bagi persatuan umat Islam. 
Perdebatan yang berlarut-larut ini menimbulkan sikap anti-pati, ekstrim baik yang mengamalkan maupun menolak.  Kalangan yang menolak tidak jarang mencap  atau memberi stempel Bid'ah atau Ahlu Bid'ah terhadap kalangan yang pro, dan yang mengamalkannya, sementara yang mengamalkan atau yang pro malah mencap atau memberi stempel 'Wahaby" kepada yang menolak. Hal ini tentu saja merugikan umat Islam itu sendiri. karena tidak ada kebaikan dari perdebatan ini selain menghasilkan permusuhan.

hukum mengirim bacaan al-quran al-fatihah kepada orang yang sudah meninggal mayit
Tulisan ini tidak bermaksud membela salah satu pihak, dalam hal ini terhadap Pihak yang Pro mengirim bacaan Al-Qur'an kepada orang yang telah meninggal. Akan tetapi penulis mencoba mengangkat sesuatu yang mungkin tidak diketahui, agar kita bisa bersikap bijak terhadap perbedaan.

Kalangan yang menolak sering kali memberi alasan penolakan terhadap mengirim bacaan Al-Qur'an kepada orang yang telah meninggal dengan kaidah "Lau Kaana Khairan Lasabaquunnaa Ilaihi" :Seandainya Amalan itu baik niscaya Para Shahabat Nabi telah Mendahui kita dalam Mengamalkannya


Artinya ketika mereka menolak mereka akan mengajukan argumen yakni dengan 3 pertanyaan: 

(1). Apakah Nabi dan para Sahabat pernah mengirimkan pahala bacaan Quran kepada mayat?,
 (2). Kalau kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjurkan umatnya untuk melakukan itu, dan 
(3). Kalau kirim pahala bacaan Quran itu baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.

 Sekarang, mari kita lihat pula bagaimana sikap ulama besar semisal Ibnul Qayyim al-Jauziyyah; murid terdekat dari syaikh Ibn Taimiyah, saat dihadapkan pada pertanyaan atau pernyataan seperti di atas; apakah beliau diam menyerah lantaran sudah terdesak oleh 'kebenaran', atau malah tetap menjawab dan mengomentarinya.

Untuk mengetahui hal itu, kita bisa menelaah salahsatu karya tulisnya yang dikenal dengan nama ar-Ruuh. Kabarnya, kitab ini menuai kontroversial di kalangan salafi. Ada yang menerima secara penuh, menolak totalitas, dan ada juga yang menerima dengan catatan. Diantara catatannya, kitab ini dianggap sebagai presentasi dari keilmuan Ibnul Qayyim Rahimahullah sebelum berguru kepada syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Padahal, dalam kitab itu jelas sekali beliau menyebutkan nama sang guru, ditambah lagi adanya kesamaan pandangan yang dikemukakan Ibnul Qayyim rahimahullah di dalamnya, dengan penjelasan oleh Ibn Taimiyah rahimahullah dalam Majmuu` Fataawi-nya.

Dalam kitab ar-Ruuh terkait persoalan amalan kirim pahala bacaan Quran, Ibnul Qayyim Rahimahullah terlihat setuju dengan pendapat yang mengatakan amalan itu boleh dilakukan. Bahkan, beliau membantah argumentasi kalangan yang berpendapat sebaliknya.

Nah, salah satu argumentasi mereka yang beliau bantah adalah seperti berikut ini, yaitu:

فإن قيل : فهذا لم يكن معروفًا في السلف، ولا يمكن نقله عن واحد منهم مع شدة حرصهم على الخير، ولا أرشدهم النبي صلى الله عليه وسلم، وقد أرشدهم إلى الدعاء، والاستغفار، والصدقة، والحج، والصيام؛ فلو كان ثواب القراءة يصل لأرشدهم إليه، ولكانوا يفعلونه.

"Jika ada yang bertanya, amalan kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu tidak dikenal di kalangan Salaf. Tidak ada orang yang bisa menukil keberadaan amalan seperti itu dari satu orang Salaf saja, sementara para Salaf itu sangat kuat perhatiannya dengan amalan yang baik. Dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan pada para Salaf tentang amalan kirim pahala bacaan Quran, sementara Nabi jelas pernah mengajarkan pada mereka tentang mendoakan dan memohon ampunan untuk orang mati, bersedekah, menghajikan dan berpuasa untuk orang mati. JADI, KALAU MEMANG KIRIM PAHALA BACAAN QURAN ITU SAMPAI KEPADA MAYAT, MAKA OTOMATIS NABI TELAH MENGAJARKANNYA, DAN MEREKA PUN TENTU MELAKUKANNYA".

Perhatikan, Ibnul Qayyim di sini secara jelas membuat semacam pernyataan yang isinya senada dengan pernyataan yang biasa ditembakkan oleh jemaah salafi, ketika kita berdebat dalam persoalan semacam ini. Lantas, bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menyikapi hal ini?

Beliau ternyata menjawab dengan jawaban seperti berikut ini:

فالجواب : أن مورد هذا السؤال إن كان معترفًا بوصول ثواب الحج، والصيام، والدعاء، والاستغفار، قيل له : ما هذه الخاصية التي منعت وصول ثواب القرآن، واقتضت وصول ثواب هذه الأعمال ؟ وهل هذا إلا تفريق بين المتماثلات ؟

"Jawabannya, jika si penanya dengan pertanyaan semacam ini mengakui kiriman pahala haji, puasa, doa dan istighfar itu bisa sampai kepada mayat, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa penyebab khusus yang membuat kiriman pahala bacaan Quran tidak sampai, sedangkan kiriman pahala ibadah selain itu justru bisa sampai? Bukankah ini hanya sekedar membeda-bedakan antara perkara-perkara yang serupa?".

وإن لم يعترف بوصول تلك الأشياء إلى الميت، فهو محجوج بالكتاب والسنة والإجماع وقواعد الشرع.

"Tapi kalau si penanya itu tidak mengakui kiriman pahala semua amal ibadah tadi itu bisa sampai, maka orang seperti ini bisa ditundukkan terkait hal ini dengan merujuk pada dalil Quran, Sunnah, Ijmak dan kaidah-kaidah Syariat".

Lalu, Ibnul Qayyim menjelaskan kenapa amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak terlacak di kalangan salaf. Beliau mengatakan:

وأما السبب الذي لأجله [ لا ] يظهر ذلك في السلف، فهو أنهم لم يكن لهم أوقاف على من يقرأ ويهدي إلى الموتى، ولا كانوا يعرفون ذلك ألبتة، ولا كانوا يقصدون القبر للقراءة عنده كما يفعله الناس اليوم، ولا كان أحدهم يشهد من حضره من الناس على أن ثواب هذه القراءة لفلان الميت، ولا ثواب هذه الصدقة والصوم.

"Penyebab amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak nampak di masa salaf adalah, karena mereka tidak memiliki harta wakaf untuk diberikan pada orang yang baca Quran dan menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat. Bahkan, salaf samasekali tidak mengenali kegiatan seperti itu. Mereka juga tidak mendatangi kuburan untuk membaca Quran seperti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Mereka juga tidak pernah memberitahukan pada rekannya, bahwa pahala bacaan Quran-nya saat itu ditujukan untuk mayat si anu, begitu pula dengan pahala ibadah sedekah dan puasanya".

Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan:

ثم يقال لهذا القائل : لو كلفت أن تنقل عن واحد من السلف أنه قال : اللهم ثواب هذا الصوم لفلان، لعجزت؛ فإن القوم كانوا أحرص شيئ على كتمان أعمال البر، فلم يكونوا ليشهدوا على الله بإيصال ثوابها إلى أمواتهم.

"Sampaikan pada si penanya, andai anda ditugaskan untuk mencari keterangan dari satu orang salaf saja, yang pernah mengatakan: Ya Allah, pahala puasa saya ini untuk si Anu, maka dijamin anda tidak akan bisa melakukannya. Sebab, Salaf itu sangat suka menyembunyikan amal kebaikannya, sehingga mereka tidak pernah memberitahukan bahwa bahwa pahala amal kebaikannya ditujukan untuk orang-orang yang wafat dari kalangannya".

Tidak hanya sampai di situ, Ibnul Qayyim kembali mengulangi pertanyaan mereka yang serupa, dengan mengatakan:

فإن قيل : فرسول الله صلى الله عليه وسلم أرشدهم إلى الصوم، والصدقة، والحج؛ دون القراءة.

"Jika ada lagi yang bertanya, tapi kan Rasulullah pernah mengajarkan para sahabat terkait berpuasa, bersedekah, dan berhaji untuk orang yang mati, sedangkan membaca Quran untuk orang mati Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada mereka".

Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menjawab:

قيل : هو صلى الله عليه وسلم [ لا] يبتدئهم بذلك، بل خرج ذلك منه مخرج الجواب لهم، فهذا سألهم عن الحج عن ميته فأذن له، وهذا سأله عن الصيام عنه فأذن له، وهذا سأله عن الصدقة فأذن له، ولم يمنعهم مما سوى ذلك. وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك؛ بين وصول ثواب القراءة والذكر؟!

"Jawabannya, bukan Nabi yang memulai membahas hal itu, melainkan penjelasan Nabi terkait itu merupakan jawaban dari pertanyaan mereka. Ada sahabat bertanya tentang menghajikan keluarganya yang telah wafat, lalu Nabi mengizinkan. Ada pula sahabat bertanya tentang berpuasa untuk orang yang wafat, lalu Nabi lagi-lagi membolehkan. Ada lagi sahabat bertanya tentang bersedekah untuk orang mati, lantas Nabi juga mengizinkan. Dan Nabi samasekali tidak melarang mereka melakukan yang lainnya. Apa sih bedanya, antara sampainya kiriman pahala puasa yang hanya berupa niat dan menahan diri, dengan sampainya kiriman pahala bacaan Quran dan zikir?!".

Ibnul Qayyim rahimahullah secara tegas lagi mengatakan:

والقائل إن أحدًا من السلف لم يفعل ذلك قائل ما لا علم له له، فإن هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، فما يدريه أن السلف كانوا يفعلون ذلك ولا يشهدون من حضرهم عليه؟ بل يكفي اطلاع علام الغيوب على نياتهم ومقاصدهم، لا سيما والتلفظ بنية الإهداء لا يشترط كما تقدم.

"Orang yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari kalangan Salaf yang melakukan pengiriman pahala bacaan Quran, pada hakikatnya dia itu telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebab, ucapan seperti itu menunjukkan bahwa dirinya bersaksi atas sesuatu yang dia sendiri belum ketahui. Bisa jadi, dia tidak tahu bahwa Salaf justru pernah mengirimkan pahala bacaan Quran-nya, tanpa memberitahukan hal itu kepada sesamanya. Padahal, dengan menyampaikan niat dan tujuan kepada Allah saja, itu sudah cukup. Terlebih lagi, melafalkan niat menghadiahkan pahala amal ibadah itu bukanlah sebuah syarat yang mesti dilakukan.

Kesimpulan
1. Persoalan Hukum mengirim Pahala bacaan Al-Qur'an sudah menjadi ikhtilaf para ulama sejak dahulu kala.
2. Sikap hukum Imam Ibnul Qayyim terhadap masalah ini adalah membolehkan, artinya beliau membolehkan mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.
3. Karena persoalan ini adalah masalah ikhtilaf, maka sebaiknya kita sebagai penuntut Ilmu bersikap bijak terhadap perbedaan pendapat, tidak mudah memvonis "bid'ah", kepada mereka yang melakukannya atau memvonis "wahaby" kepada mereka yang tidak membolehkan mengirim pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.

Wallahu A'lam.

Inilah Dalil Larangan Menyalatkan Kaum Munafik “Pembela Penista Agama”

Admin 02.06.00 Add Comment
Hasil Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) menetapkan Sanksi agama bagi pendukung penista agama dan pemilih pasangan calon pemimpin non-Muslim. Keputusan itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw dan fatwa para ulama.
Dalam Al Qur’an, Allah Swt mengingatkan dalam surah Ali Imran:152 tentang sumber kekalahan kaum muslimin. Surah Hud: 15-16 tentang akibat buruk orang yang memilih kepentingan duniawi sebagai orientasi perjuangannya. Kemudian Surah at-Taubah:113-114: tentang larangan bagi Nabi saw dan kaum mu’minin memintakan ampun kepada Allah terhadap orang musyrik. Surah at-Taubah: 80, 84 tentang ditolaknya pertobatan orang munafik dan larangan al-Quran menyolati dan mendoakan jenazah orang munafik.
Dalam hadits Anas bin Malik ra: “Setiap ada jenazah yang mau disholatkan, Nabi saw selalu bertanya: “hal ‘alaa shahibikum daynun, apakah Sahabat kalian ini tersangkut hutang-piutang.” Sahabat lain berkata: “huwa ‘alayya, hutangnya aku yang bayar.” Jika tidak, Nabi bersabda: “shalluw ‘alaa shahibikum”, sholati sahabat kalian itu. (HR Thabarani, al-Ausath, hadits hasan). Mafhum mukhalafahnya: orang yang tidak bayar hutang saja, tidak dishalatkan; apalagi yang tingkat kesalahannya berada di atasnya.
Umar bin Khatthab dan Hudzaifah Ibnul Yaman (ra), tidak mau menyolati mayat munafik. Zaid bin Wahab meriwayatkan: “seorang dari kaum munafik, meninggal dunia. Hudzaifah Ibnul Yaman (ra) tidak ikut terlihat menyolati jenazah. Umar (ra) bertanya: “lima la tushalli”, Amanil qaumu huwa? Jawab Hudzaifah: “na‘am.” Umar: “Billaahi minhum anaa?”, demi Allah, termasukkah aku dari mereka. Hudzaifah: “laa, wa lan akhbar bihi ba‘daka.” Setelah ini, aku tidak akan bocorkan daftar mereka.”
Dalam Fatwa Penyusun Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Juz 21:41): “Nabi saw tidak menyolati jenazah munafik setelah turunnya surah at-Taubah: 84, dan tidak mendoakannya di kuburan. Mayat Munafik tidak boleh disholatkan oleh jamaah yang mengetahui bahwa orang itu benar-benar munafik sewaktu hidupnya. Bagi jamaah yang tidak mengetahuinya, boleh menyolatkan jenazah orang itu, seperti dilakukan oleh Hudzaifah Ibnul Yaman dan Umar bin Khatthab ra.
Fatwa Ahlul-‘Ilmi menyebutkan, Fatwa Abu Ishaq as-Syirazi rahimahullah, Kitab al-Muhadzzab (Juz 1:250) tentang larangan menyolati jenazah munafik nyata; Fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah, Grand Mufti Saudi Arabia di zamannya:
Soal “jika mayat itu sudah dikenal sebagai munafik, apakah perlu disholat-jenazahkan? Jawabnya, “Jika kemunafikannya sudah terang benderang, maka ia tidak disholatkan. Berdasarkan firman Allah, at-Taubah:84. Jika tanda kemunafikannya, samar. Ia tetap disholatkan. (www.binbaz.org.sa). (desastian)

Keutamaan Takut Kepada Allah Ta’ala

Admin 15.29.00 Add Comment
Salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala. Sungguh, takut kepada Allah Ta’ala merupakan salah satu ciri orang-orang yang beriman. Dengan sifat takut itu seseorang akan selalu berbuat baik dan beramal shalih.
Allah Ta’ala telah memuji orang yang mempunyai perasaan takut dan pengharapan pada-Nya dalam Al-Qur`an di banyak tempat.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْأَبْصَارُ
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat). (QS. An-Nur: 37).
Allah Ta’ala juga berfirman tentang para nabi Alaihimusssalam,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِيْنَ
Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami. (QS. Al-Anbiyaa`: 90).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata,
“Perasaan takut selamanya mengandung makna pengharapan, jika tidak demikian maka yang terjadi adalah sifat putus asa.
Demikian juga, pengharapan membutuhkan perasaan takut, jika tidak demikian maka merupakan suatu ketenangan.
Maka orang yang mempunyai perasaan takut dan pengharapan kepada Allah Ta’ala, mereka adalah orang-orang yang berilmu yang dipuji Allah Ta’ala.”
Ketika Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma minum air dingin, dia menangis. Lalu dia ditanya, “Apa yang membuat kamu menangis ?”
Dia menjawab, “Aku teringat firman Allah Ta’ala,
وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ
Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang sepaham dengan mereka yang terdahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam. (QS. Saba`: 54).
Maka, aku mengetahui bahwa penghuni neraka tidak menginginkan sesuatu selain air. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَادَى أَصْحَابُ النَّارِ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ قَالُوا إِنَّ اللهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكَافِرِيْنَ
Para penghuni neraka menyeru para penghuni surga, “Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami atau rezeki apa saja yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.”
Mereka menjawab, “Sungguh, Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir. (QS. Al-A’raaf: 50).
Setelah itu, Abdullah bin Umar menangis dengan kerasnya, sehingga dia jatuh sakit, dan para shahabat menjenguknya.
Pada suatu hari Hasan menangis, lalu dia ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Aku takut Allah akan melemparkanku ke dalam api neraka, dan Dia tidak mempedulikanku.“
Sa’ad bin Al-Akhram mengatakan, “Aku pernah berjalan dengan Ibnu Mas’ud dan melewati para tukang besi, mereka mengeluarkan besi dari api, maka dia melihat besi itu lalu menangis.”
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang zuhud Rahimahullah, disebutkan bahwa pernah suatu ketika dia melaksanakan shalat malamnya dan membaca firman Allah Ta’ala,
إِذِ الْأَغْلَالُ فِي أَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلَاسِلُ يُسْحَبُوْنَ – فِي الْحَمِيْمِ ثُمَّ فِي النَّارِ يُسْجَرُوْنَ
“Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. Al-Mu`min: 71-72).
Maka dia mengulang-ulangnya dan menangis sampai pagi.
Mengenai Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, nabi umat ini dan manusia yang paling baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dia mengatakan,
قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ فَقَرَأْتُ سُوْرَةَ النِّسَاءِ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ {وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا} قَالَ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَهْمِلاَنِ
”Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah berkata kepadaku, “Bacalah (ayat Al-Qur`an) untukku!”
Maka saya berkata kepadanya, “Saya membaca untukmu, sedangkan ayat itu diturunkan kepadamu?”
Beliau berkata, “Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.
Maka saya membacakan surat An-Nisa` sampai pada ayat,
Dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka,(QS.An-Nisaa`: 41), maka saya melihat air mata beliau berlinang.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah dari ayahnya, ia berkata,
أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّيْ وَلِجَوْفِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الْمِرْجَلِ مِنَ الْبُكَاءِ
”Aku mendatangi Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau sedang melakukan shalat (malam), dan tenggorokan beliau mengeluarkan suara, seperti suara panci yang airnya mendidih, karena beliau sedang menangis. (HR. At-Tirmdizi).

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan,
“Keadaan yang paling sempurna adalah kesesuaian pengharapan dan rasa takut dan rasa cinta yang besar.
Maka, rasa cinta adalah sebagai kendaraan, pengharapan adalah sebagai jalan, rasa takut adalah sebagai pengendara, dan Allah Ta’ala Dzat yang akan dituju dengan karunia dan kemurahan-Nya.”
Saudaraku sesama muslim
Bergembiralah dan berharaplah selalu, bahwa kamu menuju pintu Rabb Yang Maha Pemurah, Maha Memberi dan Maha Pengasih. Perhatikanlah perkataan Ibnu Auf,
“Jika seorang laki-laki mengabdikan dirinya kepada raja di dunia, maka dia akan mendapatkan tujuannya, bagaimana jika seorang mengabdikan dirinya kepada Dzat yang mempunyai langit dan bumi serta apa-apa yang ada di dalamnya?”
Di samping itu, hendaknya kamu bersikap zuhud terhadap dunia, pendek angan-angan, karena angan-angan yang panjang menjadi penyakit yang melumpuhkan dan kronis.
Jika penyakit itu menyerang hati, maka tingkah laku seseorang akan rusak, dan sulit untuk disembuhkan.
Penyakit tidak akan hilang, serta obat pun tidak akan bermanfaat. Jika seorang hamba berpanjang angan-angan maka buruklah amalannya.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan penulis, anda, kedua orang tua kita, dan orang-orang yang kita cintai, termasuk orang-orang yang tenang pada hari yang penuh dengan ketakutan, dan termasuk orang-orang yang dipanggil pada hari yang agung tersebut.
Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لَا يَنَالُهُمُ اللهُ بِرَحْمَةٍ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنْتُمْ تَحْزَنُونَ
Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?”
(Allah berfirman), “Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati. (QS. Al-A’raf: 49).
Semoga kita termasuk orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala di mana pun kita berada.
Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Tulisan ini dikutip dari Kitab Durus Al-Am karya Syaikh Dr. Abdul Malik Al-Qasim.

Tiga Rahasia Kekuatan Perlawanan Ummat Islam

Admin 20.05.00 Add Comment
Umat Islam memerlukan kekuatan untuk meraih kemenangan melawan kebatilan. Usaha maksimal untuk meninggikan agama Allah dan menaklukkan ideologi jahiliyah merupakan amanat yang melekat di pundak umat. Bukan kemenangan individu, tapi kemenangan umat Islam melawan kaum jahiliyah.
Masalah bermula dari sini. Bagaimana merangkai kepingan-kepingan potensi umat hingga menyatu utuh menjadi sebuah kekuatan dahsyat. Umat terdiri dari beragam bangsa, suku, bahasa, budaya, dan tingkat pemahaman agama berbeda-beda. Tidak mudah mempersatukan mereka, meski tidak mustahil juga melakukannya dengan izin Allah.
Saat umat Islam tercerai-berai dihantam kekuatan tentara Salib pada abad pertengahan, umat Islam bisa bangkit bersatu membangun kekuatan. Hasilnya, tentara Salib bisa dikalahkan dan Palestina kembali ke pangkuan umat Islam.

Karakter Perjuangan

Kini keadaan umat tak jauh berbeda dengan zaman itu, bahkan mungkin lebih parah. Umat Islam belum pernah mengalami kekalahan dan kemunduran separah sekarang. Karenanya diperlukan pemahaman tentang bagaimana konsep membangun kekuatan agar umat kembali meraih kemenangan. Setidaknya dengan mengetahui caranya, kita bisa menapakainya. Pilar kekuatan umat terangkum dalam ayat berikut:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيانٌ مَرْصُوصٌ
Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan rapat-rapi laksana bangunan yang kokoh. (QS 61/as-shaff: 4)
Ayat ini memberi pesan tiga pilar kekuatan umat:

Pertama; Kebenaran sebagai imam tertinggi.

Pilar ini disarikan dari kata ( فى سبيله ) – di jalan Allah. Perang dan apapun yang dilakukan manusia harus dibingkai kalimat di jalan Allah untuk menjamin terkawal oleh kebenaran. Jika perjalanan hamba tak dikawal dengan kebenaran, sia-sia seluruh daya upayanya. Kebenaran juga bisa berfungsi sebagai garis besar haluan perjalanan, siapa yang mencoba memasukkan analisa, pemikiran, syahwat, kesesatan, kemunkaran dan kemaksiyatan akan segera terendus. Hasilnya, perjalanan umat kembali bersih dari segala noda dan hawa nafsu. Tentu tolok ukur kebenaran adalah wahyu; Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kedua; Persatuan.

Pilar ini disarikan dari kata ( صفا كأنهم بنيان مرصوص ) – dalam satu shaff atau barisan yang rapi dan solid laksana bangunan kokoh yang antar bagiannya saling mengikat dengan kuat. Barisan saja tidak cukup, tapi perlu saling bergandeng tangan agar tidak buyar saat mendapat serangan. Persatuan yang dilandasi persaudaraan, saling melindungi, saling bela dan senasib sepenanggungan. Persatuan juga diumpamakan dengan satu tubuh, jika ada salah satu organ sakit, seluruh tubuh akan terasa meriang karena manahan sakit. Persatuan ini harus dibingkai kebenaran, bukan asal bersatu seperti zaman Jahiliyah.

Ketiga; Rela berkorban.

Pilar ini disimpulkan dari kata ( يقاتلون ) – berperang. Kesediaan seseorang berperang membela Islam tentu dilandasi semangat berkorban yang tinggi. Sebab dalam perang ada resiko kematian, luka atau tertawan, termasuk terkurasnya waktu, tenaga, pikiran, uang dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Berperang merupakan puncak tertinggi pengorbanan sebab semua yang berharga milik manusia menjadi taruhannya. Tanpa pengorbanan, kebenaran dan persatuan menjadi tak bermakna, hanya menjadi energi yang tersimpan dalam diri.
Ketiga pilar ini harus terangkai menyatu agar menghasilkan daya pukul yang hebat. Salah satu hilang, akan sirna kekuatan Islam yang pernah menyapu imperium Romawi dan Persia. Kebenaran plus persatuan tanpa pengorbanan, macan ompong. Kebenaran plus pengorbanan minus persatuan, hanya berputar tanpa ujung. Persatuan plus pengorbanan minus kebenaran, jahiliyah. Begitulah pilar kekuatan umat harus terpenuhi tiga unsur sekaligus, sesuatu yang amat berat dicapai. Tapi bila berhasil mencapainya, tak akan ada kekuatan dunia yang sanggup menghadangnya.
Semuanya terpulang pada itikad dan kesungguhan internal umat Islam sendiri, tentu dengan izin Allah. Wallahua’lam bis-shawab.
Sumber : Telegram islammulia
KRITERIA NEGARA ISLAM MENURUT FATWA ULAMA' SAUDI

KRITERIA NEGARA ISLAM MENURUT FATWA ULAMA' SAUDI

Admin 20.06.00 Add Comment
Segala puji hanya milik Allah semesta alam, Dia-lah Yang Maha Esa atas hukum-Nya dan tidak seorang pun berhak menentukan hukum selain-Nya.Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Rasulullah SAW,keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga Hari Kiamat.
Negara yang bagaimana yang disebut Negara Islam?
Bila suatu negara menegakkan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta kebijakan ada di tangan mereka, maka negara tersebut adalah negara Islam, meskipunmayoritas penduduknya kafir[1].
Dan bila pemerintahnya itu adalah pemerintah muslim yang adil. Bila syari’at Islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam (qadliyyah mu’ayyanah) kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta dia masih meyakini hukum Islam itu yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun duna kufrin menurut Ahlus Sunnah.
- Bila suatu negara membabat hukum Islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan qawaniin wadl’iyyah (undang-undang buatan manusia),baik dari mereka itu sendiri atau mengambil dari hukum-hukum orang lain,baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah negara kafir,[2] meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.[3] [4] Shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad[5] dan negaranya adalah negara kafir. Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara jahiliyah, kafirah, dhalimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainnya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari’atnya sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya.”[6]
Syaikh Shalih AL Fauzan hafidhahullah berkata, “Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at Islamiyah, bukan negeri yangdi dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yangmenerapkan bukan syari’at Islamiyah. (Kalau demikian), negeri seperti ini bukanlah negeri Islamiyyah.”[7]
Hal serupa dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah bahwa negeri seperti itu bukanlah negeri Islam.[8] Para ulama yang tergabung di dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang negara yang dihuni banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, “Bila pemerintahan itu berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,maka pemerintahan itu bukan Islamiyyah.”[9] Bahkan pemerintah atau hukum itu adalah pemerintah atau hukum Thagut.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Dan apa yang tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah politik dan hukum di antara manusia, maka itu adalah hukum thagut dan hukum jahiliyah. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan(hukum) siapakah yang lebih baik dibanding (hukum) Allah bagiorang-orang yakin.”[10] [11]
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata, “Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum di dalam masalah darah, kemaluan dan harta dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat di dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-NyaSWT, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras diatasnya dan tidak kembali berhukum dengan apa yang telahditurunkan Allah dan tidak bermanfaat baginya nama apa pun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik shalat, shaum,haji dan yang lainnya.”[12] Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibuat undang-undang buatan yang bertentangan dengan hukum Islam, sehingga setiap berzina tidak dikenakan hukum Islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah AhlusSunnah, si hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa hukum Islam yang paling adil dan kami salah.”[13]
Catatan:
[1] Lihat Al Fatawa As Sa’diyyah karya Syaikh Abdurrahman Nashir ASa’diy 1/92, cetakan II tahun 1402, Maktabul Ma’arif Riyadl.
2 Lihat Naqdul Qaumiyyah Al’Atabiyyah karya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Bazhal 50-51 atau Majmu Fatawa Wa Maqaalat Mutanawwi’ah karya Syaikh IbnuBaz I/309-310.
3 Al Fatawa As Sa’diyah 2/92, bahkan Syaikh As Sa’diy mengatakan bahwa Irak, Bahrain dan yang lainnya yang ada di sekitarnya dihukumi sebagai negara kahir muhadin (yang mengikat perdamaian dengan negara Islam) karena hukum Islam tidak ditegakkan, padahal kita mengetahui bahwa mayoritas penduduknya adalah muslim. Dan yang menguasai saat itu adalah para penjajah yang merupakan kafir asli, sedangkan para penguasa yang murtad itu sama saja bahkan lebih buruk, Syaikh Al Walid Ibnu Muhammad Nabih Ibnu Saifunnashr berkata dalam ta’liq Ushulusunnah, karya Imam Ahmad riwayat Abdus Al ‘Aththardengan taqdim Syaikh Muhammad ‘Iid Al ‘Abbasiy (murid langsung Syaikh Albany di Damaskus), ketika beliau mengutarakan pernyataan Syaikh AlBaniy bahwa kalau pemerintah itu adalah para penjajah maka tidak harus taat kepada mereka bahkan harus diusir, beliau (Syaikh Al Walid) berkataH 65: Ini bukan khusus bagi orang-orang kafir asli, namun masuk didalamnya orang-orang murtad secara lebih utama yang tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak pula mengindahkan perjanjian, mereka beraliran serba boleh, keluar menentang syari’atilahiyyah dengan dalih kemajuan dan demokrasi…. semoga Allahmembersihkan negeri kaum muslimin dari mereka dan dari perbuatannya.
4 Namun orang-orang yang hakikatnya pengikut Murji’ah mengatakan bahwa itu adalah negara Islam (pemerintahan Islam) yang tidak menerapkan hukum Islam.
5 Lihat Ta’liq atas Fathul Majid oleh Al Faqiy 373.
6 Naqdul Qaumiyyah Al Arabiyyah yang dicetak dengan Majmu Fatawa waMaqaalaat Mutanawi’ah I/309-310.
7 Al Muntaqaa Min Fatawa Fadlilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/254 No.222.
8 Tafsir Al Manar 6/416 dari kitab Dlawabitut Takfir Abdullah Al Qarniy167.
9 Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 1/789 No. 7796 diketuai oleh Syaikh IbnuBaz rahimahullah.
10 Al Maidah:50.
11 Muqarrar Tauhid Lishshaffitstsalits:73.
12 Ta’liq Fathul Majid:373.
13 Karena dia termasuk orang yang beriman kepada sebagian dan kafirkepada sebagian, dan orang seperti itu adalah kafir,

suMBER

Negara Islam dan Negara Kafir Dalam Tinjauan Syar’i

Admin 14.58.00 Add Comment
Pro-kontra pembahasaan Negara (daar) dalam tinjauan fikih Islam sudah lama dirasakan dalam dunia fikih Islam. Tentang wujud negara Islam pun ada yang menyangsingkan. Bahkan di kalangan orang-orang liberal –para penyembah syahwat-, wujud Negara Islam hanya ilusi belaka. Tidak lebih.
Sebagian ulama kontemporer menganggap pembagian daar (Negara Islam dan kafir) tidak ada landasan alQur’an maupun As-Sunnah. Ia hanya ijtihad yang didasari oleh realitas yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti Syaikh DR. Wahbah Zuhaili, beliau berpendapat bahwa perang dan damai adalah sebab utama pembagian Negara, dan jika peperangan selesai, maka pembagian Negara sudah tidak berlaku lagi. (atsarul harb, hlm. 194)
Padahal kenyataannya, para ulama membagi Negara menjadi dua bagian di atas berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipadu dengan perkembangan realitas. Diantara ulama yang menegaskan demikian adalah para ulama salaf maupun kontemporer, seperti Ibnu Qudamah dalam al-Mughni-nya (9/293), ath-Thobary dalam tafsirnya (6/53) dan juga al-Qurthubi dalam tafsirnya (8/57).
Para peneliti dari kalangan ulama kontemporer pun berkesimpulan bahwa sebab pembagian negara menjadi dua status adalah alQur’an dan As-Sunnah. Seperti diungkapkan oleh Syaikh DR. al-Ahmadiy (ikhtilaf ad-Darain, 1/203), Syaikh DR ‘Abid Sufyani (Daarl Harb, hlm.60), dan DR Isma’il Fathoniy, (ikhtilafu ad-Darain, 72).
Diantara dalil yang menunjukkan pembagian daar telah diisyaratkan dalam alqur’an adalah,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
Artinya, “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Qs. Al-Anfal : 72)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rhm berkata, “Pada zaman Rasulullah ﷺ daarul hijrah (Madinah) dihukumi sebagai Negara Islam. Dan ketika penduduk beberapa negeri itu masuk Islam, maka negeri mereka berstatus negeri Islam, sehingga mereka tidak perlu pindah Negara mereka (menuju negeri Islam).” (Ahkamu Ahli Dzimmah, 1/89)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” (An-Nisa’: 97)
Menurut Ibnu Qudamah, ayat ini menunjukkan bahwa Makkah sebelum ditaklukkan oleh Rasulullah ﷺ adalah negara kafir. Oleh karenanya, Allah mencela sebagian muslimin yang masih tinggal Makkah, tidak berhijrah ke Madinah (al-Mughni, 9/293)
Dalam musnad imam Asy-Syafi’iy dan Shahih Muslim diriwayatkan, jika Rasulullah ﷺ mengutus seorang panglima atau sebuah pasukan sariyyah, beliau menitipkan beberapa beberapa pesan, diantaranya, jika penduduk negeri tersebut telah menyatakan Islam, maka mereka harus diajak untuk pindah dari negeri mereka (yang masih kafir) ke daarul hijrah (Madinah sekitarnya), (ikhtilafu ad-daarain, 1/75-76)
Manath Sebuah Daar
Manath adalah sebab penentuan hukum bagi segala perkara. Seperti keharaman khamer, manath pengharamannya adalah memabukkan. Jadi jika ada minuman yang bisa membuat pelakunya mabuk, maka hukumnya haram, diqiyashkan kepada khamer.
Contoh lain, larangan jual-beli pada saat adzan jum’at berkumandang, manath larangan  adalah menyibukkan orang dari shalat jum’at. Jadi setiap acara yang dikerjakan saat kumandang adzan jum’at, dan menyibukkan seseorang dari shalat jum’at, maka ia haram juga, diqiyashkan kepada jual beli.
Dalam menentukan manath sebuah Negara; apakah ia negara Islam atau Negara kafir, terdapat perbedaan ringan antara para ulama, baik salaf maupun khalaf. Perinciannya:
Pertama: Jumhur ulama, hukum pokok (golabatul ahkam) yang berlaku didukung oleh status keislaman penguasa (siyadah). Jika hukum yang berlaku adalah syari’at Islam dalam sebuah Negara maka ia adalah Negara Islam.
Imam Abu Yusuf, ulama Hanafiyah, berkata “Dasar sebuah negara dikatakan negara Islam adalah tegaknya hukum-hukum Islam di dalamnya, walaupun mayoritas penduduknya adalah kafir. Dan dasar sebuah negara dikatakan negara kafir adalah tegaknya hukum-hukum kafir di dalamnya, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslimin. (al-Mabsuth Imam As-Sarakhsi, 10/144).
Imam Abdul Qahir al-Baghdadiy, pakar fikih madzhab Syafi’iy, berkata, “Setiap Negara yang memberikan jaminan bagi dakwah Islam di tengah penduduknya, tanpa ada penindasan, tanpa harus membayar jaminan keamanan dakwah, hukum Islam diberlakukan bagi ahli dzimmah –jika di situ ada ahlu dzimmah-, ahlu bid’ah tidak memaksa ahlu sunnah, maka Negara ini adalah Negara Islam. Jika kenyataan Negara itu berbeda dengan apa yang kami sebut di atas, maka ia adalah Negara kafir.” (Ushuluddin, hlm. 270)
Hal yang sama disampaikan oleh Ibnu Hazm Adz-Dzahiri (lih. al-Muhalla, 11/300). Imam al-Qadhi Abu Ya’la, ulama Hambali,  mengatakan, “Setiap negara yang kekuasaannya dikendalikan oleh hukum Islam, bukan hukum kafir, maka itulah negara Islam. Dan setiap negara yang kekuasaannya dikendalikan oleh hukum kafir, bukan hukum Islam, maka itulah negara kafir.” (al-Mu’tamad fie Ushul ad-Dien, hal. 276)
Seorang mujtahid muthlaq, Imam Asy-Syaukani, mengomentari pembagian Negara, “Imam asy-Syaukani berkata, “Yang dijadikan acuan dalam menghukumi negara adalah tegaknya kalimat. Bila perintah dan larangan di sebuah negara dipegang oleh umat Islam sedangkan orang-orang kafir di dalamnya tidak mampu menampakkan kekafirannya kecuali setelah mendapat izin dari umat Islam, maka inilah negara Islam. Simbol-simbol kekafiran yang nampak di negara tersebut tidaklah membahayakan karena adanya dia bukan hasil dari kekuatan dan kemenangan orang-orang kafir. Hal ini pernah terjadi pada ahli dzimmah Yahudi dan Nashrani serta kaum mu’ahadah yang menempati kota-kota Islam. Bila yang ada adalah sebaliknya, maka demikian pula status negaranya.” (as-Sail al-Jarâr, 1/576)
Sebagian ulama menambahkan negara Islam haruslah dikuasai penuh oleh penguasa muslim atau umat Islam. Sebenarnya antara penguasaan negara dengan penerapan hukum saling terkait. Karena hukum Islam tidak mungkin terlaksana tanpa dibawah penguasa muslim, dan penguasa Islam pasti menerapkan syari’at Islam. (Ikhtilafu ad-Darain, 1/35)
Jika ada penguasa yang dianggap muslim namun tidak menerapkan syari’at Islam di negaranya, justeru menerapkan undang-undang positif. Baik undang-undang sekuler maupun selainnya, maka Negara ini tidak termasuk negara Islam.
Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Syaikh, mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baaz, berkata, “Negeri yang menerapkan undang-udang positif, maka ia bukan negeri Islam. Wajib berhijrah dari negeri ini (jika mampu). Demikian juga jika di negeri tersebut nampak peribadatan kepada berhala dengan bebas, tidak ada pelarangan, maka negeri ini adalah negeri kafir.” (Fatawa, no. 1451)
Imam As-Sarakhsi berkata, “Jika sebuah negeri sekedar ditaklukkan (oleh umat Islam), tetapi belum diberlakukan syari’at Islam, maka negeri ini tidak boleh disebut negara Islam.” (al-Mabsuth, 10/23)
Kedua: Manathnya adalah dzuhur (nampak) atau tidaknya syi’ar Islam. Namun kelompok ini berbeda pendapat dalam mendefenisikan dzuhur dan batasannya. Ada yang mengatakan, bisa bebas melaksanakan syahadat, shalat, dan adzan. Sebagian lainnya, berpendapat dzuhur adalah umat Islam bebas syariat apapun, tidak ada penindasan dari penguasa atau siapapun.
Sebagian orang menisbatkan pendapat ini pada sekelompok ulama Maliki, seperti imam Ad-Dsuqiy. Dalam Hasyiyah Dasuqiy al-maliki (2/188), disebutkan, “Karena Negara Islam tidak otomatis menjadi daar alharb (negara yang diperangi) dengan sekedar dikuasai oleh orang-orang kafir, hingga syi’ar-syi’ar Islam hilang sama sekali. Selama syi’ar-syi’ar Islam masih ada, atau sebagian besar syari’at Islam masih berlaku, maka ia tidak disebut daar harb.”
Sebenarnya pendapat ini tidak benar. Karena ungkapan di atas, Ad-Dasuqiy tidak sedang membicarakan definisi daarul Islam atau daarul kufri. Tetapi beliau membicarakan, Negara yang berhak diperangi. Sebab Negara kafir ada dua; yang tidak boleh diperangi, dan yang boleh diperangi (daar harb).
Ketika mendefinisikan Negara Islam mayoritas ulama maliki mengatakan, “Negeri yang didalamnya diberlakukan hukum-hukum Islam.” (al-muqoddimats al-mumhidats, 2/285)
Ketiga: Penduduk negeri. Jika mayoritas penduduknya muslimin, maka ia adalah negara muslimnya. Jika sebaliknya, maka bukan Negara Islam. Ini yang nampak dari pendapat Syaikh al-Muhaddits al-Albaiy rhm.
Dari ketiga pendapat ini, pendapat pertamalah yang kuat. Karena bersesuaian dengan dalil-dalil syar’ie dan fakta sejarah. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama kontemporer, seperti Syaikh As-Sa’di, Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Abdul Qadir Audah, Syaikh Ibrahim Alu Syaikh. (lihat. Ikhtilaf Ad-Darain, al-Ahmadiy & Ikhtilafu ad-Darain, karya Luthfiy Fathoni, keduanya desertasi doctoral , dan thesis Syaikh DR. ‘Abid as-Sufyaniy, daarul Islam wa daarul harb)
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Ahkâm Ahli adz-Dzimmah (1/366), “Jumhur ulama’ mengatakan, negara Islam adalah negara yang diduduki (dikuasai) oleh Muslimin dan diberlakukan hukum-hukum Islam. Jika Negara itu tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, maka ia bukan negara Islam meskipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah negara Islam. Contohnya, Thaif, ia berdekatan sekali dengan Makkah namun belum dikatakan Negara Islam dengan ditaklukkannya Makkah; demikian juga daerah pesisir.” Pasalnya, umat Islam, kala itu, tidak menguasai Thaif.
Berbeda dengan Khaibar setelah dikuasai oleh umat Islam, walau terletak agak jauh dari Madinah dan saat itu hampir dihuni Yahudi seluruhnya, ia tetap disebut Negara Islam. Karena hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Buktinya, dalam riwayat imam Bukhari, Rasulullah ﷺ mengirim gubernurnya untuk mengatur Khaibar. Jika yang menjadi manath adalah mayoritas penduduk, tentu Khaibar disebut Negara kafir.
Demikian juga jika mengikuti pendapat kedua, yaitu manath syi’ar Islam, jika diterapkan pada Negara-negara Barat hari ini, tentu banyak Negara-negara barat disebut Negara Islam. Karena di Negara-negara Barat hak-hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dijamin. Termasuk Islam.
Perubahan Status Darul Islam atau Darul Kufri
Dalam perkara ini, para fuqoha’ sepakat bahwa perubahan negara kafir menjadi negara Islam adalah dengan menang dan berkuasanya hukum Islam dalam sebuah negara. Lain halnya dengan perubahan negara Islam menjadi negara kafir, ada pendapat yang “cacat” di sebagian fuqoha’. Seperti; negara Islam tidak pernah berubah statusnya menjadi kafir, dan ada juga yang memberikan syarat.
Namun mayoritas para ulama berpendapat bahwa negeri Islam bisa saja berubah status menjadi Negara kafir. Yaitu, tatkala hukum-hukum yang berkuasa di Negara tersebut adalah hukum kafir, bukan hukum Islam.
Imam as-Sarakhsi berkata dalam al-Mabsuth (10/114), “Dan dari Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan semoga Allah merahmati keduanya, bahwasanya apabila mereka telah terang-terangan menjalankan hukum-hukum syirik di dalamnya, maka negara tersebut berubah status jadi negara kafir (Darul Harbi)..
Hal yang sama disampaikan oleh ulama lainnya, seperti Imam al-Kâsânî dalam Bada’i ash-Shana’I (7/131), juga disebutkan dalam al-Fatawa al-Hindiyah (2/232), al-Mughni (8/138). Ulama telah berijma’ atas kekafirannya negara Bani Ubaid, padahal mereka membuat mimbar, melaksanakan jihad, dan mengangkat para qodhi, sebab mereka melaksanakan dan melindungi kesyirikan Syi’ah, (Addurar Assunniyah, 9/392).
Oleh karena itu negara kafir itu sendiri ditinjau kepada kekafirannya, terbagi menjadi tiga:
Pertama, negara kafir murni (Darul Kufri al-Asli). Yaitu negara-negara yang belum terjamah kekuasaan Islam sebelumnya. Contohnya adalah Jepang, Cina Bagian Timur, Inggris, Amerika Utara dan Selatan serta Australia.
Kedua, negara kafir tidak murni (Darul Kufri ath-Thâri’). Yaitu negara-negara yang sebelumnya dibawah pemerintahan Islam kemudian kemasukan para penjajah kafir dan dikuasai mereka. Contohnya adalah Spanyol, Portugis, Palestina, negara-negara Eropa timur yang pernah di bawah kendali Daulah Utsmaniyah; seperti Romania, Bulgaria, Yugoslavia, Yunani dan Albania.
Ketiga, negara kafir murtad. Cabang dari negara kafir tidak murni, yaitu negara-negara Islam pada kurun waktu kapan saja, kemudian dikuasai oleh kaum murtaddin dan diberlakukan di dalamnya hukum-hukum kafir. Misalnya adalah negara-negara yang pada hari ini disebut sebagai negara Muslim, contohnya negara-negara Arab.
Kebanyakan negara-negara ini berdasarkan perjalanan sejarahnya adalah negara kafir jajahan yang pernah dikuasai oleh penjajah salib dan mewajibkan kepadanya undang-undang positif. Kemudian mereka kembali ke negeri asalnya dan pemerintahannya dilanjutkan oleh kaum murtaddin penduduk tersebut. Dimana ada perbedaan secara hukum fikih antara negara kafir asli dan negara kafir murtad. (Silsilah al-‘Alâqât ad-Dauliyah fil-Islam, 1/22)  * (Akrom Syahid/Ade Z)

Negara Islam Menurut Imam Abu Yusuf Rahimahullah

Admin 16.47.00 Add Comment

قال الإمام أبو يوسف صاحب أبي حنيفة: تعتبر الدار دار إسلام بظهور أحكام الإسلام فيها، وإن كان جُلُّ أهلها من الكفار.
وتعتبر الدار دار كفر لظهور أحكام الكفر فيها، وإن كان جل أهلها من المسلمين. المبسوط للسرخي 10/144.

Imam Abu Yusuf Rahimahullah, murid dari Imam Abu Hanifah Rahimahullah, berkata, 
Suatu kawasan disebut Darul Islam ketika ada perwujudan hukum Islam di dalamnya, meskipun sebagian besar penduduknya adalah nonmuslim. Dan suatu tempat disebut Darul Kufur ketika ada perwujudan hukum selain Islam di dalamnya, meskipun sebagian besar penduduknya adalah Muslim,” (Al-Mabsuut, ditulis oleh As-Sarkhasy: 10/144).

Negara Islam Menurut Imam Ibnu Muflih Rahimahullah Adalah Negara Yang Hukum Allah berkuasa di dalamnya

Admin 16.42.00 Add Comment


ويقول الإمام ابن مفلح: فكل دار غلب عليها أحكام المسلمين فدار الإسلام، وإن غلب عليها أحكام الكفر فدار الكفر، ولا دار لغيرهما
. الآداب الشرعية  1/213

 Imam Ibnu Muflih Rahimahullah berkata,
Setiap tempat di mana hukum Islam berkuasa di dalamnya adalah Darul Islam. Sebaliknya, setiap tempat di mana hukum selain Islam berkuasa di dalamnya, maka tempat tersebut adalah Darul Kufur, dan tidak ada jenis negara ketiga,” (Al-Aadaab Asy-Syar’iyah: 1/313).

Negara Islam Menurut Imam Ibnu Qayyim

Admin 15.37.00 1 Comment
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa Negara Islam adalah:

دار الإسلام هي التي نزلها المسلمون، وجرت عليها أحكام الإسلام، وما لم يجر عليه أحكام الإسلام لم يكن دار إسلام وإن لاصقها. أحكام أهل الذمة


Darul Islam adalah tempat di mana umat Islam tinggal, serta di mana hukum Islam diterapkan. Dan setiap tempat yang di dalamnya hukum Islam tidak diterapkan tidaklah disebut dengan Darul Islam, meskipun berdampingan dengan sebuah Negara Islam,” (Ahkaam Ahludh-Dhimma: 1/266).

FATWA LAJNAH DA’IMAH : Pemerintahan Yang Sekuler tidak Memutuskan Hukum dengan Hukum Allah Bukan Pemerintahan Islam

Admin 15.21.00 Add Comment

فتوى:
س 1: لعلكم على علم بأن حكومتنا علمانية لا تهتم بالدين، وهي تحكم البلاد على دستور اشترك في ترتيبه المسلمون والمسيحيون، هناك يرد السؤال: هل يجوز لنا أن نسمي الحكومة بحكومة إسلامية أو نقول: إنها كافرة؟
Pertanyaan:
“Anda tentu telah mengetahui, karena pemerintahan kami pemerintah sekuler yang tidak memperhatikan agama. Pemerintah ini memerintah negara diatas hukum konstitusi yang dalam menyusunnya tergabung antara orang-orang Islam dan Kristen. Pertanyaannya adalah, Apakah boleh bagi kami menamakan pemerintahan itu dengan pemerintahan islam atau kami katakan sesungguhnya itu pemerintahan kafir?

ج 1: إذا كانت تحكم بغير ما أنزل الله فالحكومة غير إسلامية. وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Jawaban:
“ Jika pemerintah itu memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah maka pemerintahan itu BUKAN PEMERINTAHAN ISLAM. Wabillahit taufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam”.

Fatwa no.7796.

PERKATAAN SYAIKH UTSAIMIN TENTANG KELOMPOK YANG BERNAMA “SALAFI”.

Admin 15.13.00 Add Comment

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Rahimahullah berkata:

ولا شك أن الواجب على جميع المسلمين أن يكون مذهبهم مذهب السلف لا الانتماء إلى حزب معين يسمى السلفيين، والواجب أن تكون الأمة الاسلامية مذهبها مذهب السلف الصالح لا التحزب إلى من يسمى ( السلفيون) فهناك طريق السلف وهناك حزب يسمى (السلفيون) والمطلوب اتباع السلف.

  Tidak ragu lagi, bahwa wajib bagi seluruh kaum muslimin menjadikan mazhab mereka adalah madzhab salaf, bukan terikat dengan kelompok tertentu yang dinamakan ‘Salafiyyin’.

Wajib bagi umat Islam menjadikan madzhab mereka adalah madzhab salafus shalih, bukan berkelompok kepada siapa-siapa yang dinamakan ‘Salafiyyun’. Maka, disana ada jalan salaf, dan ADA JUGA HIZBI YANG DISEBUT ‘SALAFIYYUN’.., sedang yang dituntut oleh syariat adalah mengikuti salaf/orang shalih terdahulu (bukan mengikuti kelompok yang menamakan diri mereka ‘salafi’).
(Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsamin dalam kitab Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah

Larangan Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin, Dan Wajibnya Memberontak Kepada Pemimpin Yang Kufur dan Melakukan Bid'ah Menurut Imam Nawawi

Admin 15.50.00 Add Comment
قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر ، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية ، وسقطت طاعته ، ووجب على المسلمين القيام عليه ، وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك ، فإن لم يقع ذلك إلا لطائفة وجب عليهم القيام بخلع الكافر ، ولا يجب في المبتدع إلا إذا ظنوا القدرة عليه ، فإن تحققوا العجز لم يجب

An-Nawawi berkata: “Berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama’ berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat – sampai perkataannya – jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan.
Jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya.

(Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).

Mengenal Imam Mahdi Nama dan Nasabnya, Sifat Fisiknya, Waktu dan Proses Munculnya

Admin 02.05.00 Add Comment


Mengenal Al-Imam Al-Mahdi
Syariat sejatinya telah gamblang menjelaskan definisi dan menyuguhkan gambaran akan sosok Al-Imam Al-Mahdi. Namun bersemainya penyimpangan tak pelak menjadikan gambaran Al-Imam Al-Mahdi itu menjadi kabur.
Beriman akan Munculnya
Telah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengimani segala yang diberitakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana ini menjadi konsekuensi persaksian kita: “Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺃَﻥْ ﺃُﻗَﺎﺗِﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭﺍ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻲ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺟِﺌْﺖُ ﺑِﻪِ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠُﻮﺍ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﺼَﻤُﻮﺍ ﻣِﻨِّﻲ ﺩِﻣَﺎﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﺇِﻻَّ ﺑِﺤَﻘِّﻬَﺎ ﻭَﺣِﺴَﺎﺑُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ
“ Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar melainkan Allah dan agar mereka beriman kepada apa yang kubawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim, Kitabul Iman Bab Al-Amru bi Qitalin Nas Hatta.)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tegaskan:
ﻭَﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭْﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Ini menunjukkan wajibnya beriman dengan segala yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berita yang terkait dengan apa yang telah lalu atau yang akan datang. Termasuk di antaranya adalah akan munculnya Al-Imam Al-Mahdi.
Berita akan munculnya sosok penegak sunnah nan adil itu telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Bahkan tak sedikit dari para ulama yang menyatakan bahwa haditsnya mencapai derajat mutawatir secara makna, sehingga tiada lagi celah bagi siapapun untuk mengingkarinya. Di antara ulama yang menyatakan kemutawatiran hadits-haditsnya adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain As-Sijzi (wafat 363 H), Muhammad Al-Barzanji (wafat 1103 H), As-Safarini, As-Sakhawi, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al-Kattani, dan lain-lain rahimahumullah.
Dan para ulama yang menyebutkan keshahihan hadits tentang Al-Mahdi sangat banyak, dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu telah menyebutkan sebagian nama mereka, di antaranya 16 ulama yang saya sebutkan sebagiannya: Abu Dawud, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar rahimahumullah.
Sehingga ini menjadi salah satu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. As-Safarini mengatakan: “Telah banyak riwayat yang menyebutkan akan munculnya Al-Mahdi sehingga mencapai derajat mutawatir secara makna. Dan itu telah tersebar di kalangan Ahlus Sunnah sehingga teranggap sebagai aqidah mereka….” –beliau menyebut hadits, atsar serta nama para sahabat yang meriwayatkannya, lalu beliau berkata– “Dan telah diriwayatkan dari para sahabat yang disebutkan dan selain mereka dengan riwayat yang banyak, juga dari para tabi’in setelah mereka, yang dengan semua itu memberi faedah ilmu yang pasti. Maka mengimani munculnya Mahdi adalah wajib sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama dan tertulis dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, 2/84)
Beberapa Hadits tentang Al-Imam Al-Mahdi
1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻَّ ﻳَﻮْﻡٌ – ﻗَﺎﻝَ ﺯَﺍﺋِﺪَﺓُ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳْﺜِﻪِ – ﻟَﻄَﻮَّﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺒْﻌَﺚَ ﻓِﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻨِّﻲ – ﺃَﻭْ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ – ﻳُﻮَﺍﻃِﺊُ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺍﺳْﻤِﻲ ﻭَﺍﺳْﻢُ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺍﺳْﻢَ ﺃَﺑِﻲ، ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻭَﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﻇُﻠْﻤًﺎ ﻭَﺟَﻮْﺭًﺍ
“ Bila tidak tersisa dari dunia kecuali satu hari –Za`idah (salah seorang rawi) mengatakan dalam haditsnya– tentu Allah akan panjangkan hari tersebut, sehingga Allah utus padanya seorang lelaki dariku –atau dari keluargaku–. Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kedzaliman dan keculasan .” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud, Shahih Sunan no. 4282; sanadnya jayyid menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Al-Manarul Munif; At-Tirmidzi no. 2230, 2231; Ibnu Hibban no. 6824, 6825)
2. Dari ‘Ali (bin Abi Thalib) radhiyallahu ‘anhudari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan:
ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪَّﻫْﺮِ ﺇِﻻَّ ﻳَﻮْﻡٌ ﻟَﺒَﻌَﺚَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻳَﻤْﻠَﺆُﻫَﺎ ﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﺟَﻮْﺭًﺍ
“ Bila tidak tersisa dari masa ini kecuali satu hari, tentu Allah akan munculkan seorang lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kecurangan .” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4283 Kitab Al-Mahdi dan ini adalah lafadznya, Ibnu Majah no. 4085, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi)
3. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻣِﻦْ ﻋِﺘْﺮَﺗِﻲ ﻣِﻦْ ﻭَﻟَﺪِ ﻓَﺎﻃِﻤَﺔَ
“ Al-Mahdi dari keluargaku dari putra Fathimah .” (Shahih, HR. Abu Dawud dan ini lafadznya, Shahih Sunan no. 4284, Ibnu Majah no. 4086, dan Al-Hakim no. 8735, 8736)
4. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻣِﻨِّﻲ، ﺃَﺟْﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ ﺃَﻗْﻨَﻰ ﺍْﻷَﻧْﻒِ، ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻭَﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﺟَﻮْﺭًﺍ ﻭَﻇُﻠْﻤًﺎ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﺳَﺒْﻊَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ
“ Al-Mahdi dariku, dahinya lebar, hidungnya mancung, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kedzaliman, berkuasa selama 7 tahun .” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4285 dan ini lafadznya, Ibnu Majah no. 4083, At-Tirmidzi, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a Fil Mahdi no. 2232, Ibnu Hibban no. 6823, 6826 dan Al-Hakim no. 8733, 8734, 8737)
5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﺰَﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺇِﻣَﺎﻣُﻜُﻢْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ؟
“ Bagaimana dengan kalian jika turun kepada kalian putra Maryam, sementara imam kalian dari kalian?” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitab Ahaditsul Anbiya` Bab Nuzul ‘Isa ibni Maryam, no. 3449; Muslim dalam Kitabul Iman Bab Fi Nuzul Ibni Maryam, 2/369, 390)
6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺰَﺍﻝُ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻇَﺎﻫِﺮِﻳْﻦَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴَﻨْﺰِﻝُ ﻋِﻴْﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺃَﻣِﻴْﺮُﻫُﻢْ : ﺗَﻌَﺎﻝَ ﺻَﻞِّ ﻟَﻨَﺎ، ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻻَ، ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀُ ﺗَﻜْﺮِﻣَﺔَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻷُﻣَّﺔَ
“ Masih tetap sekelompok dari umatku berperang di atas kebenaran. Mereka unggul sampai hari kiamat, lalu turun ‘Isa putra Maryam. Maka pemimpin mereka mengatakan: ‘Kemari, jadilah imam kami.’ Ia menjawab: ‘Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’.” (Shahih, HR. Muslim dalam Kitabul Iman Bab La Tazal Tha`ifah min Ummati, 2/370, no. 393)
Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ini menunjukkan dua hal:
Pertama: Ketika turunnya ‘Isa bin Maryam dari langit, yang memegang kepemimpinan muslimin ketika itu adalah seorang dari mereka.
Kedua: Keberadaan pemimpin mereka untuk shalat, lalu ia mengimami muslimin, serta permintaannya kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam saat turunnya untuk mengimami mereka. Ini semua menunjukkan keshalihan pemimpin tersebut dan bahwa ia berada di atas petunjuk.
Dan (dalam hadits) itu walaupun tidak ada penegasan dengan lafadz Al-Mahdi, tetapi menunjukkan sifat orang yang shalih yang mengimami muslimin di waktu itu. Dan terdapat hadits-hadits dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad serta lainnya, yang menerangkan bahwa hadits-hadits yang ada dalam dua kitab shahih itu menunjukkan bahwa orang shalih tersebut bernama Muhammad bin Abdullah dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali, yang disebut dengan Al-Mahdi. Dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagiannya menerangkan sebagian yang lain. Di antara hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang diriwayatktan oleh Al-Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnad-nya dengan sanadnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻳَﻨْﺰِﻝُ ﻋِﻴْﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺃَﻣِﻴْﺮُﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ : ﺗَﻌَﺎﻝَ، ﺻَﻞِّ ﺑِﻨَﺎ . ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻻَ، ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﺃَﻣِﻴْﺮُ ﺑَﻌْﺾٍ، ﺗَﻜْﺮِﻣَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﻬَﺬِﻩِ ﺍْﻷُﻣَّﺔِ
“ Isa putra Maryam turun, lalu pemimpin mereka Al-Mahdi mengatakan: ‘Imamilah kami’. Ia menjawab: ‘Sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’ .”
Hadits ini dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Manarul Munif: “Sanadnya bagus.” (Abdul Muhsin Al-‘Abbad, ‘Aqidatu Ahlil Atsar. Lihat pula Ash-Shahihah, no. 2236)
Nama Al-Imam Al-Mahdi dan Nasabnya
Nama beliau adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Seperti dalam hadits yang lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan: “ Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.”
Dia dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana disebutkan dalam riwayat: “Dari ahli baitku.” (HR. Abu Dawud, no. 4282 dan 4283). Dalam riwayat lain: “Dari keluarga terdekatku (‘itrah-ku) .” (HR. Abu Dawud, no. 4284). Dalam riwayat lain: “ Dariku .” (HR. Abu Dawud no. 4285) dari jalur perkawinan ‘Ali bin Abu Thalib dan Fathimah bintu Rasulillah. Sebagaimana dalam hadits yang lalu dikatakan: “ Seseorang dari keluargaku” dan “dari anak keturunan Fathimah .” (HR. Abu Dawud no. 4284)
Oleh karenanya, Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Dia adalah Muhammad bin Abdillah Al-‘Alawi (keturunan Ali) Al-Fathimi (keturunan Fathimah) Al-Hasani (keturunan Al-Hasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaikinya dalam satu malam yakni memberinya taubat, taufik, memberinya pemahaman serta bimbingan padahal sebelumnya tidak seperti itu .” (An-Nihayah fil Malahim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Sifat Fisiknya
Di antara sifat fisiknya adalah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud (no. 4285) dan yang lain:
ﺃَﺟْﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ Artinya, “ Tersingkap rambutnya dari arah kepala bagian depan,” atau “ Dahinya lebar.”
ﺃَﻗْﻨَﻰ ﺍْﻷَﻧْﻒِ “ Hidungnya mancung, ujungnya tajam, bagian tengahnya agak naik .”
Al-Qari mengatakan: “Maksudnya, beliau tidak pesek, karena yang demikian adalah bentuk yang tidak disukai.”
Menebar Keadilan
Di antara sifat Al-Mahdi adalah bahwa ia menebar keadilan dan melenyapkan kedzaliman serta keculasan. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezhaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4282, 4283, 4285)
Sehingga disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﺇِﻥْ ﻗَﺼَﺮَ ﻓَﺴَﺒْﻊٌ ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﺘِﺴْﻊٌ ﻓَﺘَﻨْﻌَﻢُ ﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻧِﻌْﻤَﺔً ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻌَﻤُﻮﺍ ﻣِﺜْﻠَﻬَﺎ ﻗَﻂُّ ﺗُﺆْﺗَﻰ ﺃُﻛُﻠَﻬَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﺪَّﺧِﺮُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺍﻟْﻤَﺎﻝُ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻛُﺪُﻭْﺱٌ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻡُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻳَﺎ ﻣَﻬْﺪِﻱُّ ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ . ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺧُﺬْ
“ Akan datang pada umatku Al-Mahdi bila masanya pendek maka tujuh tahun, kalau tidak maka 9 tahun. Maka umatku pada masa itu diberi kenikmatan dengan kenikmatan yang tidak pernah mereka rasakan yang semacam itu sama sekali. Mereka diberi rizki yang luas. Mereka tidak menyimpan sesuatu pun. Harta saat itu berlimpah sehingga seseorang bangkit dan mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku.’ Diapun menjawab: ‘Ambillah’ .” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 4083, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi, 4/412, dan Al-Hakim no. 8739. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menghasankannya)
Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan:
ﻓَﻴَﺠِﻲْﺀُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻳَﺎ ﻣَﻬْﺪِﻱُّ، ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ، ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴَﺤْﺜِﻲ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺛَﻮْﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺃَﻥْ ﻳَﺤْﻤِﻠَﻪُ
“ Sehingga datang kepadanya seseorang seraya mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku, berilah aku.’ Nabi mengatakan: “Maka Mahdi menuangkan untuknya di pakaiannya sampai ia tidak dapat membawanya .”
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Di masanya, buah-buahan banyak. Tanam-tanaman lebat, harta benda melimpah. Penguasa benar-benar berkuasa, agama menjadi tegak, musuh menjadi hina, kebaikan terwujud di masanya terus-menerus.” (An-Nihayah Fil-Malahim 1/18, Program Maktabah Syamilah)
Dalam riwayat Al-Hakim, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲْ ﺁﺧِﺮِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻳُﺴْﻘِﻴْﻪِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻐَﻴْﺚَ، ﻭَﺗُﺨْﺮِﺝُ ﺍْﻷَﺭْﺽُ ﻧَﺒَﺎﺗَﻬَﺎ، ﻭَﻳُﻌْﻄِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝَ ﺻِﺤَﺎﺣًﺎ، ﻭَﺗَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻤَﺎﺷِﻴَﺔُ ﻭَﺗَﻌْﻈُﻢُ ﺍْﻷُﻣَّﺔُ، ﻳَﻌِﻴْﺶُ ﺳَﺒْﻌﺎً ﺃَﻭْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴًﺎ – ﻳَﻌْﻨِﻲْ ﺣِﺠَﺠًﺎ –
“Muncul di akhir umatku Al-Mahdi. Allah menyiramkan hujan, sehingga bumi mengeluarkan tanamannya. Ia membagi harta secara merata. Binatang ternak semakin banyak, umat pun menjadi besar. Ia hidup selama 7 atau 8 –yakni tahun–.” (HR. Al-Hakim, Kitabul Fitan wal Malahim no. 8737. Beliau mengatakannya sebagai hadits yang shahih sanadnya, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Ibnu Khaldun. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Sanadnya shahih.” Lihat Ash-Shahihah, 4/40, hadits no. 1529)
Waktu Munculnya
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi disebutkan: “Ketahuilah, yang sudah dikenal di kalangan seluruh pemeluk Islam sepanjang masa bahwa di akhir zaman pasti muncul seorang dari ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang membela agama dan menebarkan keadilan, serta diikuti oleh muslimin. Ia juga menguasai kerajaan-kerajaan Islam. Ia dijuluki Al-Mahdi. Juga tentang keluarnya Dajjal serta tanda-tanda kiamat sesudahnya yang terdapat dalam kitab Shahih, muncul setelahnya. Dan bahwa kemunculan ‘Isa juga setelahnya, kemudian beliau membunuh Dajjal. Atau ‘Isa turun setelahnya lalu membantunya untuk membunuh Dajjal kemudian bermakmum kepada Mahdi dalam shalatnya .” (Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi)
At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dari Zir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤْﻠِﻚَ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻳُﻮَﺍﻃِﺊُ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺍﺳْﻤِﻲ
“ Dunia tidak akan lenyap hingga seorang dari keluargaku menguasai bangsa Arab. Namanya sesuai dengan namaku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2230, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi, 4/438 dan beliau mengatakan: “Hasan shahih.” Demikian pula yang dikatakan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari sini, berarti munculnya Al-Imam Al-Mahdi adalah di akhir zaman sekaligus mengawali tanda-tanda besar akan datangnya kiamat. Namun sebagian ulama sempat ragu, apakah Mahdi ini sebagai awal tanda yang besar atau tanda yang lain. Sebagian ulama menyatakan dengan yakin bahwa Mahdi sebagai tanda pertama, lalu berturut-turut datang tanda yang lain. Di antara yang menyebutkan dengan tegas yang demikian adalah Muhammad Al-Barzanji rahimahullahu (wafat 1103 H). Beliau mengatakan dalam bukunya Al-’Isya`ah li Asyrath As-Sa’ah: “ Bab Ketiga, tanda-tanda besar dan tanda-tanda yang dekat, yang setelahnya tibalah hari kiamat, dan itu juga banyak. Di antaranya Al-Mahdi, dan itu yang pertama .” (dinukil dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi Al-Muntazhar)
Adapun Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Munculnya, nanti di akhir zaman. Dan saya kira, keluarnya adalah sebelum turunnya ‘Isa bin Maryam, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu.”
Masa Kekuasaannya
Terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi:
ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱَّ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻳَﻌِﻴْﺶُ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﺃَﻭْ ﺳَﺒْﻌًﺎ ﺃَﻭْ ﺗِﺴْﻌًﺎ - ﺯَﻳْﺪٌ ﺍﻟﺸَّﺎﻙُّ - ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﻨَﺎ : ﻭَﻣَﺎ ﺫَﺍﻙَ؟ ﻗَﺎﻝ : ﺳِﻨِﻴْﻦَ .
“Sesungguhnya pada umatku ada Al-Mahdi. Ia muncul, hidup (berkuasa) 5 atau 7 atau 9.” –Zaid (salah seorang rawi/periwayat) ragu–. Abu Sa’id mengatakan: “Apa itu?” Beliau menjawab: “Tahun.”
ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﺇِﻥْ ﻗُﺼِﺮَ ﻓَﺴَﺒْﻊٌ ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﺘِﺴْﻊٌ
“ Akan datang pada umatku Al-Mahdi, bila masanya pendek maka 7 tahun, kalau tidak maka 9 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4083)
Dengan perbedaan riwayat ini, maka Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa paling lama masa tinggal (kekuasaan)-nya adalah 9 tahun, dan sedikitnya 5 atau 7 tahun .” (An-Nihayah Fil Malahim wal Fitan, 1/18, Program Maktabah Syamilah)
Sementara Al-Mubarakfuri mengatakan: “ Yakni, keraguan itu berasal dari Zaid. Sementara dari shahabat Abu Sa’id dalam riwayat Abu Dawud: ‘dan menguasai selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Demikian pula dalam hadits Ummu Salamah dalam riwayat Abu Dawud dengan lafadz ‘maka dia tinggal selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Maka riwayat yang tegas lebih dikedepankan daripada yang ragu. ” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/15, Program Maktabah Syamilah)
Asal Munculnya
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa munculnya dari arah timur atau Al-Masyriq. Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:
“ Munculnya Mahdi dari negeri-negeri timur bukan dari gua Samarra, seperti disangka oleh orang-orang bodoh dari kalangan Syi’ah .” (An-Nihayah Fil Malafim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan:
ﺑَﻴْﻨَﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫْ ﺃَﻗْﺒَﻞَ ﻓِﺘْﻴَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻫَﺎﺷِﻢٍ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭَﺁﻫُﻢْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻏْﺮَﻭْﺭَﻗَﺖْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻩُ ﻭَﺗَﻐَﻴَّﺮَ ﻟَﻮْﻧُﻪُ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﻣَﺎ ﻧَﺰَﺍﻝُ ﻧَﺮَﻯ ﻓِﻲ ﻭَﺟْﻬِﻚَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻧَﻜْﺮَﻫُﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺖٍ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻨَﺎ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﺳَﻴَﻠْﻘَﻮْﻥَ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺑَﻼَﺀً ﻭَﺗَﺸْﺮِﻳْﺪًﺍ ﻭَﺗَﻄْﺮِﻳْﺪًﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣِﻦْ ﻗِﺒَﻞِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺭَﺍﻳَﺎﺕٌ ﺳُﻮْﺩٌ ﻓَﻴَﺴْﺄَﻟُﻮْﻥَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻓَﻼَ ﻳُﻌْﻄَﻮْﻧَﻪُ ﻓَﻴُﻘَﺎﺗِﻠُﻮْﻥَ ﻓَﻴُﻨْﺼَﺮُﻭْﻥَ ﻓَﻴُﻌْﻄَﻮْﻥَ ﻣَﺎ ﺳَﺄَﻟُﻮﺍ ﻓَﻼَ ﻳَﻘْﺒَﻠُﻮْﻧَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺪْﻓَﻌُﻮْﻫَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺟُﻞٍ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻓَﻴَﻤْﻠَﺆُﻫَﺎ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻣَﻠَﺌُﻮْﻫَﺎ ﺟَﻮْﺭًﺍ، ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺄْﺗِﻬِﻢْ ﻭَﻟَﻮْ ﺣَﺒْﻮًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺜَّﻠْﺞِ
“ Tatkala kami berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok pemuda dari Bani Hasyim. Ketika Nabi melihat mereka, kedua mata beliau berlinang air mata dan berubahlah roman mukanya. Maka aku katakan: ‘Kami masih tetap melihat pada wajahmu sesuatu yang tidak kami sukai.’ Lalu beliau menjawab: ‘Kami ahlul bait. Allah telah pilihkan akhirat untuk kami daripada dunia. Dan sesungguhnya sepeninggalku, keluargaku akan menemui bencana-bencana dan pengusiran. Hingga datang sebuah kaum dari arah timur, bersama mereka ada bendera berwarna hitam1. Mereka meminta kebaikan namun mereka tidak diberi, lalu mereka memerangi dan mendapat pertolongan sehingga mereka diberi apa yang mereka minta, tetapi mereka tidak menerimanya. Hingga mereka menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang dari keluargaku. Lalu ia memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana orang-orang memenuhinya dengan kezhaliman. Barangsiapa di antara kalian mendapatinya maka datangilah mereka, walaupun dengan merangkak di atas es’ .” (HR. Ibnu Majah no. 4082, sanadnya hasan lighairihi menurut Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Adh-Dha’ifah, 1/197, pada pembahasan hadits no. 85)
As-Sindi mengatakan: “Yang nampak, kisah itu merupakan isyarat keadaan Al-Mahdi yang dijanjikan. Oleh karena itu, penulis (Ibnu Majah) menyebutkan hadits ini dalam bab ini (bab keluarnya Al-Mahdi).”
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Dan orang-orang dari timur mendukung (Al-Mahdi), menolongnya dan menegakkan agamanya, serta mengokohkannya. Bendera mereka berwarna hitam, dan itu merupakan pakaian yang memiliki kewibawaan, karena bendera Rasulullah berwarna hitam yang dinamai Al-Iqab. ” (An-Nihayah fil Malahim, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Beliau juga mengatakan: “ Maksudnya, Al-Mahdi yang terpuji yang dijanjikan keluarnya di akhir zaman asal munculnya adalah dari arah timur, dan diba’iat di Ka’bah seperti yang disebutkan oleh nash hadits.” (idem, 1/17)
Tentang tempat bai’atnya telah diisyaratkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Seseorang dibai’at di antara rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim).” (HR. Ibnu Hibban no. 6827, Ahmad, dan Al-Hakim; dan beliau menshahihkannya)
Proses Munculnya Al-Imam Al-Mahdi
Munculnya Al-Imam Al-Mahdi bukan bak sulap batil, yang seolah muncul tanpa sebab dan tiba-tiba. Namun munculnya tentu mengikuti sunnatullah pada alam ini, yakni melalui proses yang menuju ke arah sana.
Menjelaskan hal itu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “…Nabi memberikan kabar gembira tentang akan datangnya seseorang dari keluarganya dan beliau menyebutkannya dengan sifat-sifat yang menonjol. Di antara yang sifat terpenting adalah bahwa beliau berhukum dengan Islam dan menebarkan keadilan di antara manusia.
Jadi, pada hakikatnya beliau termasuk para mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di penghujung tiap 100 tahun, sebagaimana telah shahih berita (tentang hal ini) dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini (keberadaan mujaddid di tiap satu abad) juga bukan berarti tidak perlu berupaya mencari ilmu dan mengamalkannya untuk memperbarui agama. Sehingga, akan keluarnya Al-Mahdi tidaklah berarti bermalas-malasan karenanya, serta tidak bersiap atau beramal untuk menegakkan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Bahkan sebaliknya (beramal) itulah yang benar, karena Al-Mahdi tidak mungkin upayanya lebih dari Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selama 23 tahun berbuat untuk mengokohkan pilar-pilar Islam dan menegakkan negaranya.
Maka kira-kira apa yang akan dilakukan Al-Mahdi seandainya ia muncul dan mendapati kaum muslimin dalam kondisi terpecah, berkelompok-kelompok dan ulama mereka (muncul) –kecuali sedikit dari mereka– (karena) orang-orang telah menjadikan mereka sebagai para pemimpin. Tentu (Al-Mahdi) tidak akan dapat menegakkan negara Islam kecuali setelah mempersatukan kalimat mereka dan menyatukan mereka dalam satu barisan serta dalam satu bendera.
Dan ini –tanpa diragukan– membutuhkan waktu yang panjang, Allah Maha Tahu tentangnya. Syariat serta akal, keduanya mengharuskan agar orang-orang yang ikhlas dari kalangan muslimin menjalankan kewajiban ini. Sehingga manakala Al-Mahdi keluar, tiada kebutuhan kecuali tinggal menggiring mereka kepada kemenangan. Kalaupun belum keluar, maka mereka pun telah melakukan kewajiban mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻗُﻞِ ﺍﻋْﻤَﻠُﻮﺍ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻤَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ
“ Dan katakanlah: ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalan kalian itu’ .” (At-Taubah: 105) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 4/42-43]
Wallahu a’lam.
1 Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Bendera itu bukanlah yang dibawa Abu Muslim dari Khurasan yang kemudian menghancurkan dinasti Bani Umayyah pada tahun 132 H. Namun bendera hitam lain, yang datang mengiringi Al-Mahdi .” (An-Nihayah, 1/17)
Bukan pula pasukan Thaliban yang di Afghanistan, sebagaimana yang disebut dalam poster berjudul Huru-Hara Akhir Zaman karya Amin Muhammad Jamaludin yang laris itu. Selebaran itu sendiri sarat dengan berbagai ramalan dan takwil (baca: penyelewengan makna) hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda hari kiamat. Hendaknya kaum muslimin tidak lekas terkesima dengan takwil semacam itu. Sebagaimana pula hal ini tidak berarti mengingkari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa akhir zaman.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Judul: Mengenal Al-Imam Al-Mahdi