Pro-kontra pembahasaan Negara (daar) dalam tinjauan fikih
Islam sudah lama dirasakan dalam dunia fikih Islam. Tentang wujud negara
Islam pun ada yang menyangsingkan. Bahkan di kalangan orang-orang
liberal –para penyembah syahwat-, wujud Negara Islam hanya ilusi belaka.
Tidak lebih.
Sebagian ulama kontemporer menganggap pembagian daar
(Negara Islam dan kafir) tidak ada landasan alQur’an maupun As-Sunnah.
Ia hanya ijtihad yang didasari oleh realitas yang berkembang di tengah
masyarakat. Seperti Syaikh DR. Wahbah Zuhaili, beliau berpendapat bahwa
perang dan damai adalah sebab utama pembagian Negara, dan jika
peperangan selesai, maka pembagian Negara sudah tidak berlaku lagi. (atsarul harb, hlm. 194)
Padahal
kenyataannya, para ulama membagi Negara menjadi dua bagian di atas
berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipadu dengan perkembangan
realitas. Diantara ulama yang menegaskan demikian adalah para ulama
salaf maupun kontemporer, seperti Ibnu Qudamah dalam al-Mughni-nya
(9/293), ath-Thobary dalam tafsirnya (6/53) dan juga al-Qurthubi dalam
tafsirnya (8/57).
Para peneliti dari kalangan ulama kontemporer
pun berkesimpulan bahwa sebab pembagian negara menjadi dua status adalah
alQur’an dan As-Sunnah. Seperti diungkapkan oleh Syaikh DR. al-Ahmadiy (ikhtilaf ad-Darain, 1/203), Syaikh DR ‘Abid Sufyani (Daarl Harb, hlm.60), dan DR Isma’il Fathoniy, (ikhtilafu ad-Darain, 72).
Diantara dalil yang menunjukkan pembagian daar telah diisyaratkan dalam alqur’an adalah,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا
Artinya,
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka
tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka
berhijrah.” (Qs. Al-Anfal : 72)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rhm
berkata, “Pada zaman Rasulullah ﷺ daarul hijrah (Madinah) dihukumi
sebagai Negara Islam. Dan ketika penduduk beberapa negeri itu masuk
Islam, maka negeri mereka berstatus negeri Islam, sehingga mereka tidak
perlu pindah Negara mereka (menuju negeri Islam).” (Ahkamu Ahli Dzimmah, 1/89)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana
kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,”
(An-Nisa’: 97)
Menurut Ibnu Qudamah, ayat ini menunjukkan bahwa
Makkah sebelum ditaklukkan oleh Rasulullah ﷺ adalah negara kafir. Oleh
karenanya, Allah mencela sebagian muslimin yang masih tinggal Makkah,
tidak berhijrah ke Madinah (al-Mughni, 9/293)
Dalam musnad imam Asy-Syafi’iy dan Shahih Muslim diriwayatkan, jika Rasulullah ﷺ mengutus seorang panglima atau sebuah pasukan sariyyah,
beliau menitipkan beberapa beberapa pesan, diantaranya, jika penduduk
negeri tersebut telah menyatakan Islam, maka mereka harus diajak untuk
pindah dari negeri mereka (yang masih kafir) ke daarul hijrah (Madinah sekitarnya), (ikhtilafu ad-daarain, 1/75-76)
Manath Sebuah Daar
Manath adalah sebab penentuan hukum bagi segala perkara. Seperti keharaman khamer, manath
pengharamannya adalah memabukkan. Jadi jika ada minuman yang bisa
membuat pelakunya mabuk, maka hukumnya haram, diqiyashkan kepada khamer.
Contoh lain, larangan jual-beli pada saat adzan jum’at berkumandang, manath larangan
adalah menyibukkan orang dari shalat jum’at. Jadi setiap acara yang
dikerjakan saat kumandang adzan jum’at, dan menyibukkan seseorang dari
shalat jum’at, maka ia haram juga, diqiyashkan kepada jual beli.
Dalam menentukan manath
sebuah Negara; apakah ia negara Islam atau Negara kafir, terdapat
perbedaan ringan antara para ulama, baik salaf maupun khalaf.
Perinciannya:
Pertama: Jumhur ulama, hukum pokok (golabatul ahkam) yang berlaku didukung oleh status keislaman penguasa (siyadah). Jika hukum yang berlaku adalah syari’at Islam dalam sebuah Negara maka ia adalah Negara Islam.
Imam
Abu Yusuf, ulama Hanafiyah, berkata “Dasar sebuah negara dikatakan
negara Islam adalah tegaknya hukum-hukum Islam di dalamnya, walaupun
mayoritas penduduknya adalah kafir. Dan dasar sebuah negara dikatakan
negara kafir adalah tegaknya hukum-hukum kafir di dalamnya, walaupun
mayoritas penduduknya adalah Muslimin. (al-Mabsuth Imam As-Sarakhsi, 10/144).
Imam
Abdul Qahir al-Baghdadiy, pakar fikih madzhab Syafi’iy, berkata,
“Setiap Negara yang memberikan jaminan bagi dakwah Islam di tengah
penduduknya, tanpa ada penindasan, tanpa harus membayar jaminan keamanan
dakwah, hukum Islam diberlakukan bagi ahli dzimmah –jika di situ ada
ahlu dzimmah-, ahlu bid’ah tidak memaksa ahlu sunnah, maka Negara ini
adalah Negara Islam. Jika kenyataan Negara itu berbeda dengan apa yang
kami sebut di atas, maka ia adalah Negara kafir.” (Ushuluddin, hlm. 270)
Hal yang sama disampaikan oleh Ibnu Hazm Adz-Dzahiri (lih. al-Muhalla, 11/300).
Imam al-Qadhi Abu Ya’la, ulama Hambali, mengatakan, “Setiap negara
yang kekuasaannya dikendalikan oleh hukum Islam, bukan hukum kafir, maka
itulah negara Islam. Dan setiap negara yang kekuasaannya dikendalikan
oleh hukum kafir, bukan hukum Islam, maka itulah negara kafir.” (al-Mu’tamad fie Ushul ad-Dien, hal. 276)
Seorang
mujtahid muthlaq, Imam Asy-Syaukani, mengomentari pembagian Negara,
“Imam asy-Syaukani berkata, “Yang dijadikan acuan dalam menghukumi
negara adalah tegaknya kalimat. Bila perintah dan larangan di sebuah
negara dipegang oleh umat Islam sedangkan orang-orang kafir di dalamnya
tidak mampu menampakkan kekafirannya kecuali setelah mendapat izin dari
umat Islam, maka inilah negara Islam. Simbol-simbol kekafiran yang
nampak di negara tersebut tidaklah membahayakan karena adanya dia bukan
hasil dari kekuatan dan kemenangan orang-orang kafir. Hal ini pernah
terjadi pada ahli dzimmah Yahudi dan Nashrani serta kaum mu’ahadah yang menempati kota-kota Islam. Bila yang ada adalah sebaliknya, maka demikian pula status negaranya.” (as-Sail al-Jarâr, 1/576)
Sebagian
ulama menambahkan negara Islam haruslah dikuasai penuh oleh penguasa
muslim atau umat Islam. Sebenarnya antara penguasaan negara dengan
penerapan hukum saling terkait. Karena hukum Islam tidak mungkin
terlaksana tanpa dibawah penguasa muslim, dan penguasa Islam pasti
menerapkan syari’at Islam. (Ikhtilafu ad-Darain, 1/35)
Jika
ada penguasa yang dianggap muslim namun tidak menerapkan syari’at Islam
di negaranya, justeru menerapkan undang-undang positif. Baik
undang-undang sekuler maupun selainnya, maka Negara ini tidak termasuk
negara Islam.
Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Syaikh, mufti Saudi
sebelum Syaikh Bin Baaz, berkata, “Negeri yang menerapkan undang-udang
positif, maka ia bukan negeri Islam. Wajib berhijrah dari negeri ini
(jika mampu). Demikian juga jika di negeri tersebut nampak peribadatan
kepada berhala dengan bebas, tidak ada pelarangan, maka negeri ini
adalah negeri kafir.” (Fatawa, no. 1451)
Imam As-Sarakhsi berkata,
“Jika sebuah negeri sekedar ditaklukkan (oleh umat Islam), tetapi belum
diberlakukan syari’at Islam, maka negeri ini tidak boleh disebut negara
Islam.” (al-Mabsuth, 10/23)
Kedua: Manathnya adalah dzuhur
(nampak) atau tidaknya syi’ar Islam. Namun kelompok ini berbeda
pendapat dalam mendefenisikan dzuhur dan batasannya. Ada yang
mengatakan, bisa bebas melaksanakan syahadat, shalat, dan adzan.
Sebagian lainnya, berpendapat dzuhur adalah umat Islam bebas syariat
apapun, tidak ada penindasan dari penguasa atau siapapun.
Sebagian
orang menisbatkan pendapat ini pada sekelompok ulama Maliki, seperti
imam Ad-Dsuqiy. Dalam Hasyiyah Dasuqiy al-maliki (2/188), disebutkan,
“Karena Negara Islam tidak otomatis menjadi daar alharb (negara
yang diperangi) dengan sekedar dikuasai oleh orang-orang kafir, hingga
syi’ar-syi’ar Islam hilang sama sekali. Selama syi’ar-syi’ar Islam masih
ada, atau sebagian besar syari’at Islam masih berlaku, maka ia tidak
disebut daar harb.”
Sebenarnya pendapat ini tidak benar. Karena ungkapan di atas, Ad-Dasuqiy tidak sedang membicarakan definisi daarul Islam atau daarul kufri.
Tetapi beliau membicarakan, Negara yang berhak diperangi. Sebab Negara
kafir ada dua; yang tidak boleh diperangi, dan yang boleh diperangi (daar harb).
Ketika
mendefinisikan Negara Islam mayoritas ulama maliki mengatakan, “Negeri
yang didalamnya diberlakukan hukum-hukum Islam.” (al-muqoddimats
al-mumhidats, 2/285)
Ketiga: Penduduk negeri.
Jika mayoritas penduduknya muslimin, maka ia adalah negara muslimnya.
Jika sebaliknya, maka bukan Negara Islam. Ini yang nampak dari pendapat
Syaikh al-Muhaddits al-Albaiy rhm.
Dari ketiga pendapat ini,
pendapat pertamalah yang kuat. Karena bersesuaian dengan dalil-dalil
syar’ie dan fakta sejarah. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas
ulama kontemporer, seperti Syaikh As-Sa’di, Syaikh Abu Zahrah, Syaikh
Abdul Qadir Audah, Syaikh Ibrahim Alu Syaikh. (lihat. Ikhtilaf Ad-Darain, al-Ahmadiy & Ikhtilafu ad-Darain, karya Luthfiy Fathoni, keduanya desertasi doctoral , dan thesis Syaikh DR. ‘Abid as-Sufyaniy, daarul Islam wa daarul harb)
Imam
Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Ahkâm Ahli adz-Dzimmah (1/366), “Jumhur
ulama’ mengatakan, negara Islam adalah negara yang diduduki (dikuasai)
oleh Muslimin dan diberlakukan hukum-hukum Islam. Jika Negara itu tidak
diberlakukan hukum-hukum Islam, maka ia bukan negara Islam meskipun
negara tersebut berdampingan dengan sebuah negara Islam. Contohnya,
Thaif, ia berdekatan sekali dengan Makkah namun belum dikatakan Negara
Islam dengan ditaklukkannya Makkah; demikian juga daerah pesisir.”
Pasalnya, umat Islam, kala itu, tidak menguasai Thaif.
Berbeda
dengan Khaibar setelah dikuasai oleh umat Islam, walau terletak agak
jauh dari Madinah dan saat itu hampir dihuni Yahudi seluruhnya, ia tetap
disebut Negara Islam. Karena hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Buktinya, dalam riwayat imam Bukhari, Rasulullah ﷺ mengirim gubernurnya
untuk mengatur Khaibar. Jika yang menjadi manath adalah mayoritas penduduk, tentu Khaibar disebut Negara kafir.
Demikian juga jika mengikuti pendapat kedua, yaitu manath syi’ar Islam, jika
diterapkan pada Negara-negara Barat hari ini, tentu banyak
Negara-negara barat disebut Negara Islam. Karena di Negara-negara Barat
hak-hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dijamin. Termasuk Islam.
Perubahan Status Darul Islam atau Darul Kufri
Dalam
perkara ini, para fuqoha’ sepakat bahwa perubahan negara kafir menjadi
negara Islam adalah dengan menang dan berkuasanya hukum Islam dalam
sebuah negara. Lain halnya dengan perubahan negara Islam menjadi negara
kafir, ada pendapat yang “cacat” di sebagian fuqoha’. Seperti; negara
Islam tidak pernah berubah statusnya menjadi kafir, dan ada juga yang
memberikan syarat.
Namun mayoritas para ulama berpendapat bahwa
negeri Islam bisa saja berubah status menjadi Negara kafir. Yaitu,
tatkala hukum-hukum yang berkuasa di Negara tersebut adalah hukum kafir,
bukan hukum Islam.
Imam as-Sarakhsi berkata dalam al-Mabsuth
(10/114), “Dan dari Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan semoga Allah
merahmati keduanya, bahwasanya apabila mereka telah terang-terangan
menjalankan hukum-hukum syirik di dalamnya, maka negara tersebut berubah
status jadi negara kafir (Darul Harbi)..
Hal yang sama disampaikan oleh ulama lainnya, seperti Imam al-Kâsânî dalam Bada’i ash-Shana’I (7/131),
juga disebutkan dalam al-Fatawa al-Hindiyah (2/232), al-Mughni (8/138).
Ulama telah berijma’ atas kekafirannya negara Bani Ubaid, padahal
mereka membuat mimbar, melaksanakan jihad, dan mengangkat para qodhi,
sebab mereka melaksanakan dan melindungi kesyirikan Syi’ah, (Addurar Assunniyah, 9/392).
Oleh karena itu negara kafir itu sendiri ditinjau kepada kekafirannya, terbagi menjadi tiga:
Pertama,
negara kafir murni (Darul Kufri al-Asli). Yaitu negara-negara yang
belum terjamah kekuasaan Islam sebelumnya. Contohnya adalah Jepang, Cina
Bagian Timur, Inggris, Amerika Utara dan Selatan serta Australia.
Kedua,
negara kafir tidak murni (Darul Kufri ath-Thâri’). Yaitu negara-negara
yang sebelumnya dibawah pemerintahan Islam kemudian kemasukan para
penjajah kafir dan dikuasai mereka. Contohnya adalah Spanyol, Portugis,
Palestina, negara-negara Eropa timur yang pernah di bawah kendali Daulah
Utsmaniyah; seperti Romania, Bulgaria, Yugoslavia, Yunani dan Albania.
Ketiga,
negara kafir murtad. Cabang dari negara kafir tidak murni, yaitu
negara-negara Islam pada kurun waktu kapan saja, kemudian dikuasai oleh
kaum murtaddin dan diberlakukan di dalamnya hukum-hukum kafir. Misalnya
adalah negara-negara yang pada hari ini disebut sebagai negara Muslim,
contohnya negara-negara Arab.
Kebanyakan negara-negara ini
berdasarkan perjalanan sejarahnya adalah negara kafir jajahan yang
pernah dikuasai oleh penjajah salib dan mewajibkan kepadanya
undang-undang positif. Kemudian mereka kembali ke negeri asalnya dan
pemerintahannya dilanjutkan oleh kaum murtaddin penduduk tersebut.
Dimana ada perbedaan secara hukum fikih antara negara kafir asli dan
negara kafir murtad. (Silsilah al-‘Alâqât ad-Dauliyah fil-Islam, 1/22)
* (Akrom Syahid/Ade Z)
EmoticonEmoticon