Hukum Kirim pahala Bacaan Al-Qur'an Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah
Untuk mengetahui hal itu, kita bisa menelaah salahsatu karya tulisnya yang dikenal dengan nama ar-Ruuh. Kabarnya, kitab ini menuai kontroversial di kalangan salafi. Ada yang menerima secara penuh, menolak totalitas, dan ada juga yang menerima dengan catatan. Diantara catatannya, kitab ini dianggap sebagai presentasi dari keilmuan Ibnul Qayyim Rahimahullah sebelum berguru kepada syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Padahal, dalam kitab itu jelas sekali beliau menyebutkan nama sang guru, ditambah lagi adanya kesamaan pandangan yang dikemukakan Ibnul Qayyim rahimahullah di dalamnya, dengan penjelasan oleh Ibn Taimiyah rahimahullah dalam Majmuu` Fataawi-nya.
Dalam kitab ar-Ruuh terkait persoalan amalan kirim pahala bacaan Quran, Ibnul Qayyim Rahimahullah terlihat setuju dengan pendapat yang mengatakan amalan itu boleh dilakukan. Bahkan, beliau membantah argumentasi kalangan yang berpendapat sebaliknya.
Nah, salah satu argumentasi mereka yang beliau bantah adalah seperti berikut ini, yaitu:
فإن قيل : فهذا لم يكن معروفًا في السلف، ولا يمكن نقله عن واحد منهم مع شدة حرصهم على الخير، ولا أرشدهم النبي صلى الله عليه وسلم، وقد أرشدهم إلى الدعاء، والاستغفار، والصدقة، والحج، والصيام؛ فلو كان ثواب القراءة يصل لأرشدهم إليه، ولكانوا يفعلونه.
"Jika ada yang bertanya, amalan kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu tidak dikenal di kalangan Salaf. Tidak ada orang yang bisa menukil keberadaan amalan seperti itu dari satu orang Salaf saja, sementara para Salaf itu sangat kuat perhatiannya dengan amalan yang baik. Dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan pada para Salaf tentang amalan kirim pahala bacaan Quran, sementara Nabi jelas pernah mengajarkan pada mereka tentang mendoakan dan memohon ampunan untuk orang mati, bersedekah, menghajikan dan berpuasa untuk orang mati. JADI, KALAU MEMANG KIRIM PAHALA BACAAN QURAN ITU SAMPAI KEPADA MAYAT, MAKA OTOMATIS NABI TELAH MENGAJARKANNYA, DAN MEREKA PUN TENTU MELAKUKANNYA".
Perhatikan, Ibnul Qayyim di sini secara jelas membuat semacam pernyataan yang isinya senada dengan pernyataan yang biasa ditembakkan oleh jemaah salafi, ketika kita berdebat dalam persoalan semacam ini. Lantas, bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menyikapi hal ini?
Beliau ternyata menjawab dengan jawaban seperti berikut ini:
فالجواب : أن مورد هذا السؤال إن كان معترفًا بوصول ثواب الحج، والصيام، والدعاء، والاستغفار، قيل له : ما هذه الخاصية التي منعت وصول ثواب القرآن، واقتضت وصول ثواب هذه الأعمال ؟ وهل هذا إلا تفريق بين المتماثلات ؟
"Jawabannya, jika si penanya dengan pertanyaan semacam ini mengakui kiriman pahala haji, puasa, doa dan istighfar itu bisa sampai kepada mayat, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa penyebab khusus yang membuat kiriman pahala bacaan Quran tidak sampai, sedangkan kiriman pahala ibadah selain itu justru bisa sampai? Bukankah ini hanya sekedar membeda-bedakan antara perkara-perkara yang serupa?".
وإن لم يعترف بوصول تلك الأشياء إلى الميت، فهو محجوج بالكتاب والسنة والإجماع وقواعد الشرع.
"Tapi kalau si penanya itu tidak mengakui kiriman pahala semua amal ibadah tadi itu bisa sampai, maka orang seperti ini bisa ditundukkan terkait hal ini dengan merujuk pada dalil Quran, Sunnah, Ijmak dan kaidah-kaidah Syariat".
Lalu, Ibnul Qayyim menjelaskan kenapa amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak terlacak di kalangan salaf. Beliau mengatakan:
وأما السبب الذي لأجله [ لا ] يظهر ذلك في السلف، فهو أنهم لم يكن لهم أوقاف على من يقرأ ويهدي إلى الموتى، ولا كانوا يعرفون ذلك ألبتة، ولا كانوا يقصدون القبر للقراءة عنده كما يفعله الناس اليوم، ولا كان أحدهم يشهد من حضره من الناس على أن ثواب هذه القراءة لفلان الميت، ولا ثواب هذه الصدقة والصوم.
"Penyebab amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak nampak di masa salaf adalah, karena mereka tidak memiliki harta wakaf untuk diberikan pada orang yang baca Quran dan menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat. Bahkan, salaf samasekali tidak mengenali kegiatan seperti itu. Mereka juga tidak mendatangi kuburan untuk membaca Quran seperti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Mereka juga tidak pernah memberitahukan pada rekannya, bahwa pahala bacaan Quran-nya saat itu ditujukan untuk mayat si anu, begitu pula dengan pahala ibadah sedekah dan puasanya".
Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan:
ثم يقال لهذا القائل : لو كلفت أن تنقل عن واحد من السلف أنه قال : اللهم ثواب هذا الصوم لفلان، لعجزت؛ فإن القوم كانوا أحرص شيئ على كتمان أعمال البر، فلم يكونوا ليشهدوا على الله بإيصال ثوابها إلى أمواتهم.
"Sampaikan pada si penanya, andai anda ditugaskan untuk mencari keterangan dari satu orang salaf saja, yang pernah mengatakan: Ya Allah, pahala puasa saya ini untuk si Anu, maka dijamin anda tidak akan bisa melakukannya. Sebab, Salaf itu sangat suka menyembunyikan amal kebaikannya, sehingga mereka tidak pernah memberitahukan bahwa bahwa pahala amal kebaikannya ditujukan untuk orang-orang yang wafat dari kalangannya".
Tidak hanya sampai di situ, Ibnul Qayyim kembali mengulangi pertanyaan mereka yang serupa, dengan mengatakan:
فإن قيل : فرسول الله صلى الله عليه وسلم أرشدهم إلى الصوم، والصدقة، والحج؛ دون القراءة.
"Jika ada lagi yang bertanya, tapi kan Rasulullah pernah mengajarkan para sahabat terkait berpuasa, bersedekah, dan berhaji untuk orang yang mati, sedangkan membaca Quran untuk orang mati Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada mereka".
Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menjawab:
قيل : هو صلى الله عليه وسلم [ لا] يبتدئهم بذلك، بل خرج ذلك منه مخرج الجواب لهم، فهذا سألهم عن الحج عن ميته فأذن له، وهذا سأله عن الصيام عنه فأذن له، وهذا سأله عن الصدقة فأذن له، ولم يمنعهم مما سوى ذلك. وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك؛ بين وصول ثواب القراءة والذكر؟!
"Jawabannya, bukan Nabi yang memulai membahas hal itu, melainkan penjelasan Nabi terkait itu merupakan jawaban dari pertanyaan mereka. Ada sahabat bertanya tentang menghajikan keluarganya yang telah wafat, lalu Nabi mengizinkan. Ada pula sahabat bertanya tentang berpuasa untuk orang yang wafat, lalu Nabi lagi-lagi membolehkan. Ada lagi sahabat bertanya tentang bersedekah untuk orang mati, lantas Nabi juga mengizinkan. Dan Nabi samasekali tidak melarang mereka melakukan yang lainnya. Apa sih bedanya, antara sampainya kiriman pahala puasa yang hanya berupa niat dan menahan diri, dengan sampainya kiriman pahala bacaan Quran dan zikir?!".
Ibnul Qayyim rahimahullah secara tegas lagi mengatakan:
والقائل إن أحدًا من السلف لم يفعل ذلك قائل ما لا علم له له، فإن هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، فما يدريه أن السلف كانوا يفعلون ذلك ولا يشهدون من حضرهم عليه؟ بل يكفي اطلاع علام الغيوب على نياتهم ومقاصدهم، لا سيما والتلفظ بنية الإهداء لا يشترط كما تقدم.
"Orang yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari kalangan Salaf yang melakukan pengiriman pahala bacaan Quran, pada hakikatnya dia itu telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebab, ucapan seperti itu menunjukkan bahwa dirinya bersaksi atas sesuatu yang dia sendiri belum ketahui. Bisa jadi, dia tidak tahu bahwa Salaf justru pernah mengirimkan pahala bacaan Quran-nya, tanpa memberitahukan hal itu kepada sesamanya. Padahal, dengan menyampaikan niat dan tujuan kepada Allah saja, itu sudah cukup. Terlebih lagi, melafalkan niat menghadiahkan pahala amal ibadah itu bukanlah sebuah syarat yang mesti dilakukan.
Kesimpulan
1. Persoalan Hukum mengirim Pahala bacaan Al-Qur'an sudah menjadi ikhtilaf para ulama sejak dahulu kala.
2. Sikap hukum Imam Ibnul Qayyim terhadap masalah ini adalah membolehkan, artinya beliau membolehkan mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.
3. Karena persoalan ini adalah masalah ikhtilaf, maka sebaiknya kita sebagai penuntut Ilmu bersikap bijak terhadap perbedaan pendapat, tidak mudah memvonis "bid'ah", kepada mereka yang melakukannya atau memvonis "wahaby" kepada mereka yang tidak membolehkan mengirim pahala bacaan Al-Qur'an kepada orang yang sudah meninggal.
Wallahu A'lam.
Inilah Dalil Larangan Menyalatkan Kaum Munafik “Pembela Penista Agama”
Soal “jika mayat itu sudah dikenal sebagai munafik, apakah perlu disholat-jenazahkan? Jawabnya, “Jika kemunafikannya sudah terang benderang, maka ia tidak disholatkan. Berdasarkan firman Allah, at-Taubah:84. Jika tanda kemunafikannya, samar. Ia tetap disholatkan. (www.binbaz.org.sa). (desastian)
Keutamaan Takut Kepada Allah Ta’ala
Tiga Rahasia Kekuatan Perlawanan Ummat Islam
Karakter Perjuangan
Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan rapat-rapi laksana bangunan yang kokoh. (QS 61/as-shaff: 4)
Pertama; Kebenaran sebagai imam tertinggi.
Kedua; Persatuan.
Ketiga; Rela berkorban.
KRITERIA NEGARA ISLAM MENURUT FATWA ULAMA' SAUDI
Negara yang bagaimana yang disebut Negara Islam?
Bila suatu negara menegakkan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta kebijakan ada di tangan mereka, maka negara tersebut adalah negara Islam, meskipunmayoritas penduduknya kafir[1].
Dan bila pemerintahnya itu adalah pemerintah muslim yang adil. Bila syari’at Islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam (qadliyyah mu’ayyanah) kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta dia masih meyakini hukum Islam itu yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun duna kufrin menurut Ahlus Sunnah.
- Bila suatu negara membabat hukum Islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan qawaniin wadl’iyyah (undang-undang buatan manusia),baik dari mereka itu sendiri atau mengambil dari hukum-hukum orang lain,baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah negara kafir,[2] meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.[3] [4] Shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad[5] dan negaranya adalah negara kafir. Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara jahiliyah, kafirah, dhalimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainnya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari’atnya sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya.”[6]
Syaikh Shalih AL Fauzan hafidhahullah berkata, “Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at Islamiyah, bukan negeri yangdi dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yangmenerapkan bukan syari’at Islamiyah. (Kalau demikian), negeri seperti ini bukanlah negeri Islamiyyah.”[7]
Hal serupa dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah bahwa negeri seperti itu bukanlah negeri Islam.[8] Para ulama yang tergabung di dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang negara yang dihuni banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan, “Bila pemerintahan itu berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,maka pemerintahan itu bukan Islamiyyah.”[9] Bahkan pemerintah atau hukum itu adalah pemerintah atau hukum Thagut.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Dan apa yang tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah politik dan hukum di antara manusia, maka itu adalah hukum thagut dan hukum jahiliyah. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan(hukum) siapakah yang lebih baik dibanding (hukum) Allah bagiorang-orang yakin.”[10] [11]
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata, “Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum di dalam masalah darah, kemaluan dan harta dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat di dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-NyaSWT, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras diatasnya dan tidak kembali berhukum dengan apa yang telahditurunkan Allah dan tidak bermanfaat baginya nama apa pun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik shalat, shaum,haji dan yang lainnya.”[12] Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibuat undang-undang buatan yang bertentangan dengan hukum Islam, sehingga setiap berzina tidak dikenakan hukum Islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah AhlusSunnah, si hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa hukum Islam yang paling adil dan kami salah.”[13]
Catatan:
[1] Lihat Al Fatawa As Sa’diyyah karya Syaikh Abdurrahman Nashir ASa’diy 1/92, cetakan II tahun 1402, Maktabul Ma’arif Riyadl.
2 Lihat Naqdul Qaumiyyah Al’Atabiyyah karya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Bazhal 50-51 atau Majmu Fatawa Wa Maqaalat Mutanawwi’ah karya Syaikh IbnuBaz I/309-310.
3 Al Fatawa As Sa’diyah 2/92, bahkan Syaikh As Sa’diy mengatakan bahwa Irak, Bahrain dan yang lainnya yang ada di sekitarnya dihukumi sebagai negara kahir muhadin (yang mengikat perdamaian dengan negara Islam) karena hukum Islam tidak ditegakkan, padahal kita mengetahui bahwa mayoritas penduduknya adalah muslim. Dan yang menguasai saat itu adalah para penjajah yang merupakan kafir asli, sedangkan para penguasa yang murtad itu sama saja bahkan lebih buruk, Syaikh Al Walid Ibnu Muhammad Nabih Ibnu Saifunnashr berkata dalam ta’liq Ushulusunnah, karya Imam Ahmad riwayat Abdus Al ‘Aththardengan taqdim Syaikh Muhammad ‘Iid Al ‘Abbasiy (murid langsung Syaikh Albany di Damaskus), ketika beliau mengutarakan pernyataan Syaikh AlBaniy bahwa kalau pemerintah itu adalah para penjajah maka tidak harus taat kepada mereka bahkan harus diusir, beliau (Syaikh Al Walid) berkataH 65: Ini bukan khusus bagi orang-orang kafir asli, namun masuk didalamnya orang-orang murtad secara lebih utama yang tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak pula mengindahkan perjanjian, mereka beraliran serba boleh, keluar menentang syari’atilahiyyah dengan dalih kemajuan dan demokrasi…. semoga Allahmembersihkan negeri kaum muslimin dari mereka dan dari perbuatannya.
4 Namun orang-orang yang hakikatnya pengikut Murji’ah mengatakan bahwa itu adalah negara Islam (pemerintahan Islam) yang tidak menerapkan hukum Islam.
5 Lihat Ta’liq atas Fathul Majid oleh Al Faqiy 373.
6 Naqdul Qaumiyyah Al Arabiyyah yang dicetak dengan Majmu Fatawa waMaqaalaat Mutanawi’ah I/309-310.
7 Al Muntaqaa Min Fatawa Fadlilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan 2/254 No.222.
8 Tafsir Al Manar 6/416 dari kitab Dlawabitut Takfir Abdullah Al Qarniy167.
9 Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 1/789 No. 7796 diketuai oleh Syaikh IbnuBaz rahimahullah.
10 Al Maidah:50.
11 Muqarrar Tauhid Lishshaffitstsalits:73.
12 Ta’liq Fathul Majid:373.
13 Karena dia termasuk orang yang beriman kepada sebagian dan kafirkepada sebagian, dan orang seperti itu adalah kafir,
suMBER
Negara Islam dan Negara Kafir Dalam Tinjauan Syar’i
Negara Islam Menurut Imam Abu Yusuf Rahimahullah
وتعتبر الدار دار كفر لظهور أحكام الكفر فيها، وإن كان جل أهلها من المسلمين. المبسوط للسرخي 10/144.
Negara Islam Menurut Imam Ibnu Muflih Rahimahullah Adalah Negara Yang Hukum Allah berkuasa di dalamnya
ويقول الإمام ابن مفلح: فكل دار غلب عليها أحكام المسلمين فدار الإسلام، وإن غلب عليها أحكام الكفر فدار الكفر، ولا دار لغيرهما
. الآداب الشرعية 1/213
Imam Ibnu Muflih Rahimahullah berkata,
Negara Islam Menurut Imam Ibnu Qayyim
FATWA LAJNAH DA’IMAH : Pemerintahan Yang Sekuler tidak Memutuskan Hukum dengan Hukum Allah Bukan Pemerintahan Islam
Jawaban:
Fatwa no.7796.
PERKATAAN SYAIKH UTSAIMIN TENTANG KELOMPOK YANG BERNAMA “SALAFI”.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Rahimahullah berkata:
ولا شك أن الواجب على جميع المسلمين أن يكون مذهبهم مذهب السلف لا الانتماء إلى حزب معين يسمى السلفيين، والواجب أن تكون الأمة الاسلامية مذهبها مذهب السلف الصالح لا التحزب إلى من يسمى ( السلفيون) فهناك طريق السلف وهناك حزب يسمى (السلفيون) والمطلوب اتباع السلف.
Larangan Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin, Dan Wajibnya Memberontak Kepada Pemimpin Yang Kufur dan Melakukan Bid'ah Menurut Imam Nawawi
فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية ، وسقطت طاعته ، ووجب على المسلمين القيام عليه ، وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك ، فإن لم يقع ذلك إلا لطائفة وجب عليهم القيام بخلع الكافر ، ولا يجب في المبتدع إلا إذا ظنوا القدرة عليه ، فإن تحققوا العجز لم يجب
Jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya.
(Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123).
Mengenal Imam Mahdi Nama dan Nasabnya, Sifat Fisiknya, Waktu dan Proses Munculnya
Mengenal Al-Imam Al-Mahdi
Syariat sejatinya telah gamblang menjelaskan definisi dan menyuguhkan gambaran akan sosok Al-Imam Al-Mahdi. Namun bersemainya penyimpangan tak pelak menjadikan gambaran Al-Imam Al-Mahdi itu menjadi kabur.
Beriman akan Munculnya
Telah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengimani segala yang diberitakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana ini menjadi konsekuensi persaksian kita: “Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺃَﻥْ ﺃُﻗَﺎﺗِﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭﺍ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻲ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺟِﺌْﺖُ ﺑِﻪِ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠُﻮﺍ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﺼَﻤُﻮﺍ ﻣِﻨِّﻲ ﺩِﻣَﺎﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﺇِﻻَّ ﺑِﺤَﻘِّﻬَﺎ ﻭَﺣِﺴَﺎﺑُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ
“ Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar melainkan Allah dan agar mereka beriman kepada apa yang kubawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim, Kitabul Iman Bab Al-Amru bi Qitalin Nas Hatta.)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tegaskan:
ﻭَﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭْﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Ini menunjukkan wajibnya beriman dengan segala yang diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berita yang terkait dengan apa yang telah lalu atau yang akan datang. Termasuk di antaranya adalah akan munculnya Al-Imam Al-Mahdi.
Berita akan munculnya sosok penegak sunnah nan adil itu telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Bahkan tak sedikit dari para ulama yang menyatakan bahwa haditsnya mencapai derajat mutawatir secara makna, sehingga tiada lagi celah bagi siapapun untuk mengingkarinya. Di antara ulama yang menyatakan kemutawatiran hadits-haditsnya adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain As-Sijzi (wafat 363 H), Muhammad Al-Barzanji (wafat 1103 H), As-Safarini, As-Sakhawi, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al-Kattani, dan lain-lain rahimahumullah.
Dan para ulama yang menyebutkan keshahihan hadits tentang Al-Mahdi sangat banyak, dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu telah menyebutkan sebagian nama mereka, di antaranya 16 ulama yang saya sebutkan sebagiannya: Abu Dawud, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar rahimahumullah.
Sehingga ini menjadi salah satu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. As-Safarini mengatakan: “Telah banyak riwayat yang menyebutkan akan munculnya Al-Mahdi sehingga mencapai derajat mutawatir secara makna. Dan itu telah tersebar di kalangan Ahlus Sunnah sehingga teranggap sebagai aqidah mereka….” –beliau menyebut hadits, atsar serta nama para sahabat yang meriwayatkannya, lalu beliau berkata– “Dan telah diriwayatkan dari para sahabat yang disebutkan dan selain mereka dengan riwayat yang banyak, juga dari para tabi’in setelah mereka, yang dengan semua itu memberi faedah ilmu yang pasti. Maka mengimani munculnya Mahdi adalah wajib sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama dan tertulis dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, 2/84)
Beberapa Hadits tentang Al-Imam Al-Mahdi
1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻَّ ﻳَﻮْﻡٌ – ﻗَﺎﻝَ ﺯَﺍﺋِﺪَﺓُ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳْﺜِﻪِ – ﻟَﻄَﻮَّﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺒْﻌَﺚَ ﻓِﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻨِّﻲ – ﺃَﻭْ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ – ﻳُﻮَﺍﻃِﺊُ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺍﺳْﻤِﻲ ﻭَﺍﺳْﻢُ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﺍﺳْﻢَ ﺃَﺑِﻲ، ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻭَﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﻇُﻠْﻤًﺎ ﻭَﺟَﻮْﺭًﺍ
“ Bila tidak tersisa dari dunia kecuali satu hari –Za`idah (salah seorang rawi) mengatakan dalam haditsnya– tentu Allah akan panjangkan hari tersebut, sehingga Allah utus padanya seorang lelaki dariku –atau dari keluargaku–. Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kedzaliman dan keculasan .” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud, Shahih Sunan no. 4282; sanadnya jayyid menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Al-Manarul Munif; At-Tirmidzi no. 2230, 2231; Ibnu Hibban no. 6824, 6825)
2. Dari ‘Ali (bin Abi Thalib) radhiyallahu ‘anhudari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan:
ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪَّﻫْﺮِ ﺇِﻻَّ ﻳَﻮْﻡٌ ﻟَﺒَﻌَﺚَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻳَﻤْﻠَﺆُﻫَﺎ ﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﺟَﻮْﺭًﺍ
“ Bila tidak tersisa dari masa ini kecuali satu hari, tentu Allah akan munculkan seorang lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kecurangan .” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4283 Kitab Al-Mahdi dan ini adalah lafadznya, Ibnu Majah no. 4085, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi)
3. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻣِﻦْ ﻋِﺘْﺮَﺗِﻲ ﻣِﻦْ ﻭَﻟَﺪِ ﻓَﺎﻃِﻤَﺔَ
“ Al-Mahdi dari keluargaku dari putra Fathimah .” (Shahih, HR. Abu Dawud dan ini lafadznya, Shahih Sunan no. 4284, Ibnu Majah no. 4086, dan Al-Hakim no. 8735, 8736)
4. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻣِﻨِّﻲ، ﺃَﺟْﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ ﺃَﻗْﻨَﻰ ﺍْﻷَﻧْﻒِ، ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻭَﻋَﺪْﻻً ﻛَﻤَﺎ ﻣُﻠِﺌَﺖْ ﺟَﻮْﺭًﺍ ﻭَﻇُﻠْﻤًﺎ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﺳَﺒْﻊَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ
“ Al-Mahdi dariku, dahinya lebar, hidungnya mancung, memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana (sebelumnya) telah dipenuhi dengan kedzaliman, berkuasa selama 7 tahun .” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4285 dan ini lafadznya, Ibnu Majah no. 4083, At-Tirmidzi, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a Fil Mahdi no. 2232, Ibnu Hibban no. 6823, 6826 dan Al-Hakim no. 8733, 8734, 8737)
5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﺰَﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻓِﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺇِﻣَﺎﻣُﻜُﻢْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ؟
“ Bagaimana dengan kalian jika turun kepada kalian putra Maryam, sementara imam kalian dari kalian?” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitab Ahaditsul Anbiya` Bab Nuzul ‘Isa ibni Maryam, no. 3449; Muslim dalam Kitabul Iman Bab Fi Nuzul Ibni Maryam, 2/369, 390)
6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺰَﺍﻝُ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻇَﺎﻫِﺮِﻳْﻦَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴَﻨْﺰِﻝُ ﻋِﻴْﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺃَﻣِﻴْﺮُﻫُﻢْ : ﺗَﻌَﺎﻝَ ﺻَﻞِّ ﻟَﻨَﺎ، ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻻَ، ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀُ ﺗَﻜْﺮِﻣَﺔَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻷُﻣَّﺔَ
“ Masih tetap sekelompok dari umatku berperang di atas kebenaran. Mereka unggul sampai hari kiamat, lalu turun ‘Isa putra Maryam. Maka pemimpin mereka mengatakan: ‘Kemari, jadilah imam kami.’ Ia menjawab: ‘Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’.” (Shahih, HR. Muslim dalam Kitabul Iman Bab La Tazal Tha`ifah min Ummati, 2/370, no. 393)
Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ini menunjukkan dua hal:
Pertama: Ketika turunnya ‘Isa bin Maryam dari langit, yang memegang kepemimpinan muslimin ketika itu adalah seorang dari mereka.
Kedua: Keberadaan pemimpin mereka untuk shalat, lalu ia mengimami muslimin, serta permintaannya kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam saat turunnya untuk mengimami mereka. Ini semua menunjukkan keshalihan pemimpin tersebut dan bahwa ia berada di atas petunjuk.
Dan (dalam hadits) itu walaupun tidak ada penegasan dengan lafadz Al-Mahdi, tetapi menunjukkan sifat orang yang shalih yang mengimami muslimin di waktu itu. Dan terdapat hadits-hadits dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad serta lainnya, yang menerangkan bahwa hadits-hadits yang ada dalam dua kitab shahih itu menunjukkan bahwa orang shalih tersebut bernama Muhammad bin Abdullah dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali, yang disebut dengan Al-Mahdi. Dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagiannya menerangkan sebagian yang lain. Di antara hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang diriwayatktan oleh Al-Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnad-nya dengan sanadnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻳَﻨْﺰِﻝُ ﻋِﻴْﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ ﺃَﻣِﻴْﺮُﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ : ﺗَﻌَﺎﻝَ، ﺻَﻞِّ ﺑِﻨَﺎ . ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻻَ، ﺇِﻥَّ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﺃَﻣِﻴْﺮُ ﺑَﻌْﺾٍ، ﺗَﻜْﺮِﻣَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﻬَﺬِﻩِ ﺍْﻷُﻣَّﺔِ
“ Isa putra Maryam turun, lalu pemimpin mereka Al-Mahdi mengatakan: ‘Imamilah kami’. Ia menjawab: ‘Sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi sebagian yang lain, sebagai kemuliaan dari Allah untuk umat ini’ .”
Hadits ini dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Manarul Munif: “Sanadnya bagus.” (Abdul Muhsin Al-‘Abbad, ‘Aqidatu Ahlil Atsar. Lihat pula Ash-Shahihah, no. 2236)
Nama Al-Imam Al-Mahdi dan Nasabnya
Nama beliau adalah Muhammad atau Ahmad bin Abdullah. Seperti dalam hadits yang lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan: “ Namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku.”
Dia dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana disebutkan dalam riwayat: “Dari ahli baitku.” (HR. Abu Dawud, no. 4282 dan 4283). Dalam riwayat lain: “Dari keluarga terdekatku (‘itrah-ku) .” (HR. Abu Dawud, no. 4284). Dalam riwayat lain: “ Dariku .” (HR. Abu Dawud no. 4285) dari jalur perkawinan ‘Ali bin Abu Thalib dan Fathimah bintu Rasulillah. Sebagaimana dalam hadits yang lalu dikatakan: “ Seseorang dari keluargaku” dan “dari anak keturunan Fathimah .” (HR. Abu Dawud no. 4284)
Oleh karenanya, Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Dia adalah Muhammad bin Abdillah Al-‘Alawi (keturunan Ali) Al-Fathimi (keturunan Fathimah) Al-Hasani (keturunan Al-Hasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaikinya dalam satu malam yakni memberinya taubat, taufik, memberinya pemahaman serta bimbingan padahal sebelumnya tidak seperti itu .” (An-Nihayah fil Malahim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Sifat Fisiknya
Di antara sifat fisiknya adalah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Dawud (no. 4285) dan yang lain:
ﺃَﺟْﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ Artinya, “ Tersingkap rambutnya dari arah kepala bagian depan,” atau “ Dahinya lebar.”
ﺃَﻗْﻨَﻰ ﺍْﻷَﻧْﻒِ “ Hidungnya mancung, ujungnya tajam, bagian tengahnya agak naik .”
Al-Qari mengatakan: “Maksudnya, beliau tidak pesek, karena yang demikian adalah bentuk yang tidak disukai.”
Menebar Keadilan
Di antara sifat Al-Mahdi adalah bahwa ia menebar keadilan dan melenyapkan kedzaliman serta keculasan. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezhaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4282, 4283, 4285)
Sehingga disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﺇِﻥْ ﻗَﺼَﺮَ ﻓَﺴَﺒْﻊٌ ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﺘِﺴْﻊٌ ﻓَﺘَﻨْﻌَﻢُ ﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﻧِﻌْﻤَﺔً ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻌَﻤُﻮﺍ ﻣِﺜْﻠَﻬَﺎ ﻗَﻂُّ ﺗُﺆْﺗَﻰ ﺃُﻛُﻠَﻬَﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﺪَّﺧِﺮُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺍﻟْﻤَﺎﻝُ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻛُﺪُﻭْﺱٌ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻡُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻳَﺎ ﻣَﻬْﺪِﻱُّ ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ . ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺧُﺬْ
“ Akan datang pada umatku Al-Mahdi bila masanya pendek maka tujuh tahun, kalau tidak maka 9 tahun. Maka umatku pada masa itu diberi kenikmatan dengan kenikmatan yang tidak pernah mereka rasakan yang semacam itu sama sekali. Mereka diberi rizki yang luas. Mereka tidak menyimpan sesuatu pun. Harta saat itu berlimpah sehingga seseorang bangkit dan mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku.’ Diapun menjawab: ‘Ambillah’ .” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 4083, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi, 4/412, dan Al-Hakim no. 8739. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menghasankannya)
Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan:
ﻓَﻴَﺠِﻲْﺀُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ : ﻳَﺎ ﻣَﻬْﺪِﻱُّ، ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ، ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴَﺤْﺜِﻲ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺛَﻮْﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﺎﻉَ ﺃَﻥْ ﻳَﺤْﻤِﻠَﻪُ
“ Sehingga datang kepadanya seseorang seraya mengatakan: ‘Wahai Mahdi, berilah aku, berilah aku.’ Nabi mengatakan: “Maka Mahdi menuangkan untuknya di pakaiannya sampai ia tidak dapat membawanya .”
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Di masanya, buah-buahan banyak. Tanam-tanaman lebat, harta benda melimpah. Penguasa benar-benar berkuasa, agama menjadi tegak, musuh menjadi hina, kebaikan terwujud di masanya terus-menerus.” (An-Nihayah Fil-Malahim 1/18, Program Maktabah Syamilah)
Dalam riwayat Al-Hakim, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲْ ﺁﺧِﺮِ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﻳُﺴْﻘِﻴْﻪِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻐَﻴْﺚَ، ﻭَﺗُﺨْﺮِﺝُ ﺍْﻷَﺭْﺽُ ﻧَﺒَﺎﺗَﻬَﺎ، ﻭَﻳُﻌْﻄِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝَ ﺻِﺤَﺎﺣًﺎ، ﻭَﺗَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻤَﺎﺷِﻴَﺔُ ﻭَﺗَﻌْﻈُﻢُ ﺍْﻷُﻣَّﺔُ، ﻳَﻌِﻴْﺶُ ﺳَﺒْﻌﺎً ﺃَﻭْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴًﺎ – ﻳَﻌْﻨِﻲْ ﺣِﺠَﺠًﺎ –
“Muncul di akhir umatku Al-Mahdi. Allah menyiramkan hujan, sehingga bumi mengeluarkan tanamannya. Ia membagi harta secara merata. Binatang ternak semakin banyak, umat pun menjadi besar. Ia hidup selama 7 atau 8 –yakni tahun–.” (HR. Al-Hakim, Kitabul Fitan wal Malahim no. 8737. Beliau mengatakannya sebagai hadits yang shahih sanadnya, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Ibnu Khaldun. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Sanadnya shahih.” Lihat Ash-Shahihah, 4/40, hadits no. 1529)
Waktu Munculnya
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi disebutkan: “Ketahuilah, yang sudah dikenal di kalangan seluruh pemeluk Islam sepanjang masa bahwa di akhir zaman pasti muncul seorang dari ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang membela agama dan menebarkan keadilan, serta diikuti oleh muslimin. Ia juga menguasai kerajaan-kerajaan Islam. Ia dijuluki Al-Mahdi. Juga tentang keluarnya Dajjal serta tanda-tanda kiamat sesudahnya yang terdapat dalam kitab Shahih, muncul setelahnya. Dan bahwa kemunculan ‘Isa juga setelahnya, kemudian beliau membunuh Dajjal. Atau ‘Isa turun setelahnya lalu membantunya untuk membunuh Dajjal kemudian bermakmum kepada Mahdi dalam shalatnya .” (Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi)
At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dari Zir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤْﻠِﻚَ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻳُﻮَﺍﻃِﺊُ ﺍﺳْﻤُﻪُ ﺍﺳْﻤِﻲ
“ Dunia tidak akan lenyap hingga seorang dari keluargaku menguasai bangsa Arab. Namanya sesuai dengan namaku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2230, Kitabul Fitan Bab Ma Ja`a fil Mahdi, 4/438 dan beliau mengatakan: “Hasan shahih.” Demikian pula yang dikatakan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari sini, berarti munculnya Al-Imam Al-Mahdi adalah di akhir zaman sekaligus mengawali tanda-tanda besar akan datangnya kiamat. Namun sebagian ulama sempat ragu, apakah Mahdi ini sebagai awal tanda yang besar atau tanda yang lain. Sebagian ulama menyatakan dengan yakin bahwa Mahdi sebagai tanda pertama, lalu berturut-turut datang tanda yang lain. Di antara yang menyebutkan dengan tegas yang demikian adalah Muhammad Al-Barzanji rahimahullahu (wafat 1103 H). Beliau mengatakan dalam bukunya Al-’Isya`ah li Asyrath As-Sa’ah: “ Bab Ketiga, tanda-tanda besar dan tanda-tanda yang dekat, yang setelahnya tibalah hari kiamat, dan itu juga banyak. Di antaranya Al-Mahdi, dan itu yang pertama .” (dinukil dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi Al-Muntazhar)
Adapun Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Munculnya, nanti di akhir zaman. Dan saya kira, keluarnya adalah sebelum turunnya ‘Isa bin Maryam, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu.”
Masa Kekuasaannya
Terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi:
ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱَّ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻳَﻌِﻴْﺶُ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﺃَﻭْ ﺳَﺒْﻌًﺎ ﺃَﻭْ ﺗِﺴْﻌًﺎ - ﺯَﻳْﺪٌ ﺍﻟﺸَّﺎﻙُّ - ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﻠْﻨَﺎ : ﻭَﻣَﺎ ﺫَﺍﻙَ؟ ﻗَﺎﻝ : ﺳِﻨِﻴْﻦَ .
“Sesungguhnya pada umatku ada Al-Mahdi. Ia muncul, hidup (berkuasa) 5 atau 7 atau 9.” –Zaid (salah seorang rawi/periwayat) ragu–. Abu Sa’id mengatakan: “Apa itu?” Beliau menjawab: “Tahun.”
ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻓِﻲ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ ﺇِﻥْ ﻗُﺼِﺮَ ﻓَﺴَﺒْﻊٌ ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﺘِﺴْﻊٌ
“ Akan datang pada umatku Al-Mahdi, bila masanya pendek maka 7 tahun, kalau tidak maka 9 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4083)
Dengan perbedaan riwayat ini, maka Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa paling lama masa tinggal (kekuasaan)-nya adalah 9 tahun, dan sedikitnya 5 atau 7 tahun .” (An-Nihayah Fil Malahim wal Fitan, 1/18, Program Maktabah Syamilah)
Sementara Al-Mubarakfuri mengatakan: “ Yakni, keraguan itu berasal dari Zaid. Sementara dari shahabat Abu Sa’id dalam riwayat Abu Dawud: ‘dan menguasai selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Demikian pula dalam hadits Ummu Salamah dalam riwayat Abu Dawud dengan lafadz ‘maka dia tinggal selama 7 tahun’ tanpa keraguan. Maka riwayat yang tegas lebih dikedepankan daripada yang ragu. ” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/15, Program Maktabah Syamilah)
Asal Munculnya
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa munculnya dari arah timur atau Al-Masyriq. Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:
“ Munculnya Mahdi dari negeri-negeri timur bukan dari gua Samarra, seperti disangka oleh orang-orang bodoh dari kalangan Syi’ah .” (An-Nihayah Fil Malafim wal Fitan, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan:
ﺑَﻴْﻨَﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫْ ﺃَﻗْﺒَﻞَ ﻓِﺘْﻴَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻫَﺎﺷِﻢٍ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭَﺁﻫُﻢْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻏْﺮَﻭْﺭَﻗَﺖْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻩُ ﻭَﺗَﻐَﻴَّﺮَ ﻟَﻮْﻧُﻪُ . ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﻣَﺎ ﻧَﺰَﺍﻝُ ﻧَﺮَﻯ ﻓِﻲ ﻭَﺟْﻬِﻚَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻧَﻜْﺮَﻫُﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻫْﻞُ ﺑَﻴْﺖٍ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻨَﺎ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﺳَﻴَﻠْﻘَﻮْﻥَ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺑَﻼَﺀً ﻭَﺗَﺸْﺮِﻳْﺪًﺍ ﻭَﺗَﻄْﺮِﻳْﺪًﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣِﻦْ ﻗِﺒَﻞِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﺭَﺍﻳَﺎﺕٌ ﺳُﻮْﺩٌ ﻓَﻴَﺴْﺄَﻟُﻮْﻥَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻓَﻼَ ﻳُﻌْﻄَﻮْﻧَﻪُ ﻓَﻴُﻘَﺎﺗِﻠُﻮْﻥَ ﻓَﻴُﻨْﺼَﺮُﻭْﻥَ ﻓَﻴُﻌْﻄَﻮْﻥَ ﻣَﺎ ﺳَﺄَﻟُﻮﺍ ﻓَﻼَ ﻳَﻘْﺒَﻠُﻮْﻧَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺪْﻓَﻌُﻮْﻫَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺟُﻞٍ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻲ ﻓَﻴَﻤْﻠَﺆُﻫَﺎ ﻗِﺴْﻄًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻣَﻠَﺌُﻮْﻫَﺎ ﺟَﻮْﺭًﺍ، ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺄْﺗِﻬِﻢْ ﻭَﻟَﻮْ ﺣَﺒْﻮًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺜَّﻠْﺞِ
“ Tatkala kami berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok pemuda dari Bani Hasyim. Ketika Nabi melihat mereka, kedua mata beliau berlinang air mata dan berubahlah roman mukanya. Maka aku katakan: ‘Kami masih tetap melihat pada wajahmu sesuatu yang tidak kami sukai.’ Lalu beliau menjawab: ‘Kami ahlul bait. Allah telah pilihkan akhirat untuk kami daripada dunia. Dan sesungguhnya sepeninggalku, keluargaku akan menemui bencana-bencana dan pengusiran. Hingga datang sebuah kaum dari arah timur, bersama mereka ada bendera berwarna hitam1. Mereka meminta kebaikan namun mereka tidak diberi, lalu mereka memerangi dan mendapat pertolongan sehingga mereka diberi apa yang mereka minta, tetapi mereka tidak menerimanya. Hingga mereka menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang dari keluargaku. Lalu ia memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana orang-orang memenuhinya dengan kezhaliman. Barangsiapa di antara kalian mendapatinya maka datangilah mereka, walaupun dengan merangkak di atas es’ .” (HR. Ibnu Majah no. 4082, sanadnya hasan lighairihi menurut Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Adh-Dha’ifah, 1/197, pada pembahasan hadits no. 85)
As-Sindi mengatakan: “Yang nampak, kisah itu merupakan isyarat keadaan Al-Mahdi yang dijanjikan. Oleh karena itu, penulis (Ibnu Majah) menyebutkan hadits ini dalam bab ini (bab keluarnya Al-Mahdi).”
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Dan orang-orang dari timur mendukung (Al-Mahdi), menolongnya dan menegakkan agamanya, serta mengokohkannya. Bendera mereka berwarna hitam, dan itu merupakan pakaian yang memiliki kewibawaan, karena bendera Rasulullah berwarna hitam yang dinamai Al-Iqab. ” (An-Nihayah fil Malahim, 1/17, Program Maktabah Syamilah)
Beliau juga mengatakan: “ Maksudnya, Al-Mahdi yang terpuji yang dijanjikan keluarnya di akhir zaman asal munculnya adalah dari arah timur, dan diba’iat di Ka’bah seperti yang disebutkan oleh nash hadits.” (idem, 1/17)
Tentang tempat bai’atnya telah diisyaratkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Seseorang dibai’at di antara rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim).” (HR. Ibnu Hibban no. 6827, Ahmad, dan Al-Hakim; dan beliau menshahihkannya)
Proses Munculnya Al-Imam Al-Mahdi
Munculnya Al-Imam Al-Mahdi bukan bak sulap batil, yang seolah muncul tanpa sebab dan tiba-tiba. Namun munculnya tentu mengikuti sunnatullah pada alam ini, yakni melalui proses yang menuju ke arah sana.
Menjelaskan hal itu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “…Nabi memberikan kabar gembira tentang akan datangnya seseorang dari keluarganya dan beliau menyebutkannya dengan sifat-sifat yang menonjol. Di antara yang sifat terpenting adalah bahwa beliau berhukum dengan Islam dan menebarkan keadilan di antara manusia.
Jadi, pada hakikatnya beliau termasuk para mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di penghujung tiap 100 tahun, sebagaimana telah shahih berita (tentang hal ini) dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini (keberadaan mujaddid di tiap satu abad) juga bukan berarti tidak perlu berupaya mencari ilmu dan mengamalkannya untuk memperbarui agama. Sehingga, akan keluarnya Al-Mahdi tidaklah berarti bermalas-malasan karenanya, serta tidak bersiap atau beramal untuk menegakkan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi. Bahkan sebaliknya (beramal) itulah yang benar, karena Al-Mahdi tidak mungkin upayanya lebih dari Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selama 23 tahun berbuat untuk mengokohkan pilar-pilar Islam dan menegakkan negaranya.
Maka kira-kira apa yang akan dilakukan Al-Mahdi seandainya ia muncul dan mendapati kaum muslimin dalam kondisi terpecah, berkelompok-kelompok dan ulama mereka (muncul) –kecuali sedikit dari mereka– (karena) orang-orang telah menjadikan mereka sebagai para pemimpin. Tentu (Al-Mahdi) tidak akan dapat menegakkan negara Islam kecuali setelah mempersatukan kalimat mereka dan menyatukan mereka dalam satu barisan serta dalam satu bendera.
Dan ini –tanpa diragukan– membutuhkan waktu yang panjang, Allah Maha Tahu tentangnya. Syariat serta akal, keduanya mengharuskan agar orang-orang yang ikhlas dari kalangan muslimin menjalankan kewajiban ini. Sehingga manakala Al-Mahdi keluar, tiada kebutuhan kecuali tinggal menggiring mereka kepada kemenangan. Kalaupun belum keluar, maka mereka pun telah melakukan kewajiban mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻗُﻞِ ﺍﻋْﻤَﻠُﻮﺍ ﻓَﺴَﻴَﺮَﻯ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻤَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ
“ Dan katakanlah: ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalan kalian itu’ .” (At-Taubah: 105) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 4/42-43]
Wallahu a’lam.
1 Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “ Bendera itu bukanlah yang dibawa Abu Muslim dari Khurasan yang kemudian menghancurkan dinasti Bani Umayyah pada tahun 132 H. Namun bendera hitam lain, yang datang mengiringi Al-Mahdi .” (An-Nihayah, 1/17)
Bukan pula pasukan Thaliban yang di Afghanistan, sebagaimana yang disebut dalam poster berjudul Huru-Hara Akhir Zaman karya Amin Muhammad Jamaludin yang laris itu. Selebaran itu sendiri sarat dengan berbagai ramalan dan takwil (baca: penyelewengan makna) hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda hari kiamat. Hendaknya kaum muslimin tidak lekas terkesima dengan takwil semacam itu. Sebagaimana pula hal ini tidak berarti mengingkari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa akhir zaman.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Judul: Mengenal Al-Imam Al-Mahdi