Arti dan
makna Bid’ah
Bid’ah secara bahasa, kata Ath-Thurthûsyiy rahimahullah dalam Al-Hawâdits
wal-Bida’ (hal. 40) – berasal dari kata al-ikhtirâ’ (الاخْتِرَاع),
yaitu sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]
Hal itu sebagaimana firman Allah ta’âla:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ
Artinya : Allah ta’ala adalah Pencipta langit dan bumi tanpa ada
contoh sebelumnya.
Ibnul-Mandhûr rahimahullah berkata : “(بدع
الشيء يبدعه بدعاً وابتدعه),
artinya : memulainya dan menciptakannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعاً
مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul” [QS. Al-Ahqâf : 9].
Maksudnya : Aku bukanlah orang yang pertama kali diutus. Sungguh telah
banyak Rasul yang diutus sebelumku.
Jika dikatakan Fulân bada’a fî hadzal-amr, maksudnya : Fulân adalah
orang yang pertama melakukannya tanpa ada pendahulunya seorang pun [2]
Adapun secara istilah, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat Pertama
Bid’ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan setelah jaman Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam, baik yang terpuji (mahmûd) maupun yang
tercela (madzmûm). Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syâfi’î, Al-‘Izz bin
‘Abdis-Salâm, Al-Qarrâfî, Al-Ghazzâlî, Ibnul-Atsîr, An-Nawawî, dan yang
lainnya.
Asy-Syâfi’î rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah ada dua macam : bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itu yang terpuji; sedangkan bid’ah yang
menyelisihi sunnah, maka itu yang tercela”.[3]
Pendapat Kedua
Bid’ah tidaklah dimutlakkan kecuali jika menyelisihi sunnah dan bermakna
tercela. Abu Syammâh Al-Maqdisî rahimahullah menjelaskan:
وقد غَلَبَ لفظ
(البِدعةِ) على الحَدَثِ المكروهِ في الدِّينِ مهما أُطْلِقَ هذا اللفظُ، ومثلُه
لفظُ (المُبْتَدِع) لا يكادُ يُستَعْمَلُ إِلاَّ فِي الذَّمِّ
“Pada umumnya, lafadh al-bid’ah dimaksudkan pada perkara baru
yang dibenci dalam agama, seperti halnya lafadh al-mubtadi’ hampir tidak
digunakan kecuali dalam konteks celaan” [4]
Oleh karena itu, menurut pendapat ini, bid’ah secara istilah hanya satu
makna, yaitu tercela. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syâthibî, Ibnu Hajar
Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar Al-Haitamî, Ibnu Rajab Al-Hanbalî, Ibnu Taimiyyah,
Az-Zarkasyî, dan yang lainnya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وقد قررنا في قاعدة
السنة والبدعة أن البدعة في الدين هي ما لم يشرعه الله ورسوله وهو ما لم يأمر به
أمر إيجاب ولا استحباب فأما ما أمر به أمر إيجاب أو استحباب وعلم الأمر به بالأدلة
الشرعية فهو من الدين الذي شرعه الله وإن تنازع أولو الأمر في بعض ذلك وسواء كان
هذا مفعولا على عهد النبي أو لم يكن فما فعل بعده بأمره من قتال المرتدين والخوارج
المارقين وفارس وفارس والروم والترك وإخراج اليهود والنصارى من جزيرة العرب وغير
ذلك هو من سنته
“Telah kami tetapkan tentang kaedah sunnah dan bid’ah, bahwasannya
bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah
dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu perkara yang tidak
diwajibkan atau disunnahkan untuk mengerjakannya. Adapun perkara yang
diperintahkan untuk mengerjakannya, baik yang diwajibkan atau yang disunnahkan,
berdasarkan dalil-dalil syar’î, maka hal tersebut termasuk agama yang
disyari’atkan Allah – meskipun dalam sebagiannya diperselisihkan para ulama - ,
baik yang telah dilakukan di jaman Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
maupun yang belum dilakukan. Maka, segala hal yang dilakukan sepeninggal beliau
shallallâhu ‘alaihi wa sallam seperti memerangi orang-orang murtad,
orang Kahwârij, orang Persi, orang Romawi, orang Turki, serta mengeluarkan
orang-orang Yahudi dan Nashrani dari jazirah ‘Arab, dan yang lainnya; maka itu
termasuk sunnahnya shallallâhu ‘alaihi wa sallam”.[5]
Asy-Syathibî rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ
فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ
عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai
syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut untuk berlebih-lebihan dalam
perubadahan kepada Allah subhânah”.
Ini adalah pendapat kelompok yang adat tidak masuk dalam makna bid’ah,
karena bid’ah hanya dikhususkan dalam permasalahan ibadah. Pendapat kelompok
yang memasukkan adat dalam makna bid’ah, maka definisinya:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ
فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ
عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai
syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut sama seperti tujuan menjalankan
syari’at” [6]
Definisi yang dibawakan Asy-Syâthibi rahimahullah di atas adalah
definisi yang lebih komprehensif.
Mana yang râjih antara Pendapat Pertama dan Pendapat
Kedua ?
Jawab : Pendapat Kedua, dengan dalil:
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى
كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: " صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "،
وَيَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ
إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: " أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ،
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jâbir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya
keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan
pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu
waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari
kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari
tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkatân adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara
yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan" Diriwayatkan
oleh Muslim no. 867.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ
الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd : Bahwasannya Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkatân
dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkatân (kalâm) adalah Kalâmullah (Al-Qur’an),
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru.
Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan),
setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ
سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "
Dari ‘Irbâdl bin Sâriyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada
Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyî.
Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai
banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah
dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah
kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan
oleh Abu Dâwud no. 4607; shahih].
Nash-nash di atas secara tegas dan jelas memutlakkan semua kebid’ahan
sebagai kesesatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: " مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً،
وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ "
Dari Ibnu ‘Abbâs, ia berkata : “Tidaklah datang kepada manusia suatu
tahun kecuali mereka membuat-buat kebid’ahan padanya dan mematikan sunnah,
hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah”.[7]
عَنْ عَبْد اللَّهِ
قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ وَالتَّنَطُّعَ وَالتَّعَمُّقَ،
وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيقِ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd, ia berkata : “Berhati-hatilah kalian dari
berbuat bid’ah dan memaksakan diri dalam berbicara. Wajib bagi kalian berpegang
pada ajaran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam”.[8]
‘Umar bin ‘Abdil-‘Azîz rahimahullah pernah berwasiat kepada
sebagian pegawainya:
أوصيك بتقوى الله،
والاقتصاد في أمره، واتباع سنة رسوله صلى الله عليه وسلم وترك ما أحدث المحدثون
بعده فيما جرت به سنته، وكُفوا مؤنته، واعلم أنه لم يبتدع إنسانٌ بدعة إلا قدّم له
قبلها ما هو دليل عليها، وعبرة فيها. فعليك بلزوم السنة فإنه لك بإذن الله عصمة،
واعلم أن من سن السنن قد علم ما في خلافها من الخطأ والزلل والتعمق والحمق، فإن
السابقين عن علم وقفوا وببصر نافذ كَفُّوا، وكانوا هم أقوى على البحث ولم يبحثوا
“Aku nasihatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, bersikap sederhana
dalam perkara-Nya, mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
dan meninggalkan segala hal yang diada-adakan oleh pembuat bid’ah sepeninggal
beliau terhadap apa-apa yang telah berlaku sunnahnya, dan dicukupkan bagi
mereka bebannya. Ketahuilah, bahwa tidaklah manusia membuat-buat bid’ah kecuali
telah ada dalil yang menjelaskan atas hal tersebut atau pelajaran yang ada di
dalamnya (tentang hal itu). Maka wajib bagimu untuk berpegang pada sunnah,
karena ia penjaga bagimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa
yang menjalankan sunnah-sunnah, ia akan mengetahui segala sesuatu yang
menyelesihinya (sunnah) termasuk kekeliruan, kekurangan, berlebih-lebihan, dan
kedunguan. Sesungguhnya orang-orang terdahulu dalam hal ilmu (yaitu as-salafush-shâlih)
telah berhenti dan menahan diri berdasarkan ilmu mereka yang tajam, padahal
mereka adalah orang yang paling kuat dalam membahas namun ternyata mereka tidak
membahasnya…”.[9]
Tiga atsar di atas menunjukkan bahwa sunnah dan bid’ah adalah sesuatu
yang berlawanan, sehingga sesuatu yang terpuji dan harus dipegang teguh disebut
sunnah serta yang tercela dan harus diwaspadai disebut bid’ah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun
orang-orang memandangnya baik”.[10]
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ini memutlakkan bid’ah
sebagai kesesatan dan sekaligus menafikkan kemungkinan makna bid’ah secara
istilah sebagai sesuatu yang baik.
Bid’ah secara Lughawi dan Syar’î
Pembagian bid’ah dari sisi lughawî dan syar’î telah
disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna
bid’ah secara lughawî yang secara
ringkasnya adalah segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam mencakup yang tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah
secara syar’î adalah khusus untuk makna yang tercela.
Al-Hâfidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات
" بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ،
وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع " بِدْعَة
" وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ،
فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ
شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ
مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsât’ adalah jamak dari kata muhdats. Yang
dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang baru/diadakan, tidak ada asalnya
dalam syari’at, dan kemudian dinamakan dalam ‘urf syari’at dengan
bid’ah. Adapun segala sesuatu yang mempunyai asal yang ditunjukkan oleh
syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah
tercela. Berbeda halnya dengan bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yang
diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun
tercela” [11]
وَأَمَّا "
الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال
تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل
الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا
اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah,
yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah
meliputi segala sesuatu, baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan dikhususkan
dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’i (ulama syari’at) untuk
sesuatu yang tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka
maknanya adalah (bid’ah) lughawî”.[12]
Al-Hâfidh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة
تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة
لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة
التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
“Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia menjadi bid’ah
yang syar’î seperti sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya
setiap hal yang baru (muhdats) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan’. Dan kadang menjadi bid’ah secara bahasa, seperti
perkataan Amîrul-Mukminîn ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallâhu ‘anhu dalam
usahanya untuk mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dan terus menerus
melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini”[13].
Al-Hâfidh Ibnu Rajab Al-Hanbalî rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه
وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ
من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ
فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من
الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ
الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام
السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية ،
فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ
واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت البدعةُ هذه .
“Sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap bid’ah
adalah kesesatan’ termasuk jawâmi’ul-kalim[14],
yang tidak keluar dari keumumannya. Dan ia merupakan pokok yang agung dari
pokok-pokok agama, dan menyerupai sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam
: ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak
ada di dalamnya, maka tertolak’. Maka setiap orang yang mengadakan sesuatu,
lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut tidak ada asalnya dari
agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan agama pun berlepas diri
darinya. Baik pada perkara keyakinan maupun amalan, yang dhahir maupun yang
batin.
Adapun yang ada dalam perkataan salaf yang menganggap baik sebagian
bid’ah, maka itu hanyalah ada pada bid’ah lughawiyyah (secara bahasa),
bukan syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dalam bagian tersebut
adalah perkataan ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika ia mengumpulkan
orang-orang untuk shalat tarawih di bulan Ramadhân dengan satu imam di masjid,
serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya juga : ‘Sebaik-baik
bid’ah adalah ini” [15]
Perkataan Ibnu Rajab tersebut juga disitir oleh Al-Mubârakfurî dalam Tuhfatul-Ahwadzî
7/439-440.
Jika kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu
dari segi bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu
yang mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dengan satu imam di masjid
bukan termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam berhenti
melakukannya karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada mereka,
sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ،
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
“Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di
malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi
aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian
tidak sanggup melakukannya”[16].
Ketika beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at
telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tidak ada. Tidak ada
kewajiban selain apa yang diwajibkan oleh beliau shallallâhu ‘alaihi wa
sallam semasa hidupnya. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah berkata:
فيه أن قيام رمضان سنة
من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول
الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان
بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن
الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك
سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan termasuk
diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan
dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena
perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya).
Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya,
sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sayang
terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tidak
akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah
wafat), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya
melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi
tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya” [17]
Oleh karena itu, pensyari’atan
pelaksanaan shalat tarâwih kembali pada keumuman sabda beliau shallallâhu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا
صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai,
maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”.[18]
Suatu perkara yang ditinggalkan atau tidak ada dilakukan di jaman Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu
dilakukan sepeninggal beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena faktor
penghalangnya sudah tidak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah secara syari’î.
Contohnya adalah shalat tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana dilakukan
(kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radhiyallâhu ‘anhu. Contoh lain
adalah pengumpulan mushhaf di jaman Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu.
Dengan demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’,
bukan dalam konteks makna syar’î, namun lughawî sebagaimana dikatakan para
ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yang terpuji.
Lain halnya jika ada orang yang melakukan halaqah-halaqah dzikir
berjama’ah khusus yang dipimpin oleh orang tertentu, maka ini bid’ah dalam
makna syari’î (tercela) sehingga dicela oleh Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu.
Begitu pula ketika ada orang yang mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ini
juga bid'ah sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Tidak
ada faktor penghalang bagi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk
melakukan dua perbuatan, namun kenyataannya beliau tidak melakukannya. Tidak
ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dalam perkara ini.
[10] Diriwayatkan oleh Al-Marwazî dalam As-Sunnah no. 83, Al-Baihaqî
dalam Al-Madkhal no. 191, dan Al-Lâlikâ’î dalam Syarh ushûlil-I’tiqâd
no. 126.
[14] Perkataan singkat namun mengandung makna yang banyak dan luas
[18] Diriwayatkan oleh Abu Dâwud no. 1375, At-Tirmidzî no. 806 dan ia berkata
: ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’î no. 1364 dan 1605, Ibnu Mâjah no. 1327, dan yang
lainnya; shahih
EmoticonEmoticon