Tauhid
menurut bahasa berarti : menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut istilah
syar’i berarti : Pengesaan terhadap Allah subhaanahu wa ta’ala dengan
sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam uluhiyyah-Nya, rububiyyah-Nya, asma’
dan sifat-Nya. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa tauhid ini dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu : Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid
Asmaa’ wa Shifaat Allah.
Tauhid
Rububiyyah
Tauhid
Rububiyyah adalah : Suatu keyakinan yang pasti bahwa Allah subhaanahu wa
ta’ala satu-satunya pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan,
serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Dalil-dalil yang menunjukkan Tauhid Rububiyyah ini diantaranya firman
Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Juga firman-Nya :
أَلا لَهُ الْخَلْقُ
وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.
Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” [QS.
Al-A’raf : 54].
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan kepada hamba-Nya
bahwa Dia-lah satu-satunya pencipta dan pemilik seluruh alam semesta ini serta
Dia pulalah yang mengaturnya secara mutlak, tidak ada pengecualian (yang luput)
dari-Nya sesuatupun.
Di samping dua ayat di atas, Allah juga menjelaskan
tentang Rububiyyah-Nya dengan firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?"
Jawabnya: "Allah." [QS.
Ar-Ra’d : 16].
Dan juga firman-Nya :
قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ
فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
* قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ *
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ * قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ
كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ *
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua
yang ada padanya, jika kamu mengetahui?". Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak
ingat?". Katakanlah:
"Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang
besar?". Mereka akan
menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak
bertakwa?". Katakanlah:
"Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang
Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika
kamu mengetahui?". Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."
Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [QS. Al-Mukminun : 84-89].
Dari pengertian ayat di atas, tiada keraguan bagi orang
yang berakal tentang rububiyyah Allah bahwa Dia-lah satu-satunya
Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan. Demikian pula pengakuan mereka (orang-orang Quraisy) ketika ditanya
tentang siapa pencipta langit dan bumi ? Dan siapa
Rabb langit dan bumi ? Mereka akan mengatakan : ”Allah”. Sebagaimana firman
Allah :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
”Dan jika kamu bertanya kepada mereka : Siapakah yang
menciptakan tujuh langit dan bumi. Pasti mereka akan mengatakan : Allah” [QS. Luqman : 25].
Juga firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ
السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ
قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah : ”Siapakah Rabb langit yang tujuh dan ’Arsy
yang besar ?”. Pasti mereka akan mengatakan
: ”Allah”. Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?". [QS. Al-Mukminun : 86-87].
Allah banyak menyebutkan dalam Al-Qur’an pengakuan
orang-orang kafir Quraisy terhadap rububiyyah Allah, akan tetapi dengan
pengakuan tersebut mereka tetap menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah : Pengesaan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam
hal ibadah dengan penuh ketaatan dan rendah diri serta cinta pada setiap
peribadatan tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Dalil tentang Tauhid Uluhiyyah di antaranya adalah
firman Allah subhaanahu wa ta’ala:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Lafadh Allah maknanya adalah Al-Ma’luh (yang
disembah) dan Al-Ma’bud (Yang diibadahi). Dan juga firman Allah :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan” [QS.
Al-Fatihah : 5].
Kemudian juga firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 21].
Juga firman-Nya :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * أَلا لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur'an)
dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya" [QS. Az-Zumar : 2-3].
Dan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” [QS.
Al-Bayyinah : 5].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita agar kita
mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu dilarang menyembah selain
Allah baik dia seorang Nabi, wali, raja, atau malaikat sekalipun.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala aktifitas
kehidupan yang Allah ridlai dan Allah cintai baik berupa perkataan atau
perbuatan yang lahir maupun yang batin. Ibadah dibangun di atas tiga hal yang
sangat besar dan sangat penting pengaruhnya dalam perjalanan ibadah seseorang,
yaitu : cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’).
Cinta kepada Allah dalam beribadah akan membuahkan keikhlasan, takut kepada
Allah akan membawa seseorang untuk menjauhi segala larangan Allah subhaanahu
wa ta’ala dan membimbingnya untuk selalu taat kepadanya. Sedangkan pengharapan
akan membangkitkan semangat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya untuk mendapatkan janji-janji Allah subhaanahu wa ta’ala.
Kalau ketiga penggerak hati tersebut sudah tumbuh dengan kuat di hari seorang
hamba, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan ridla dan cinta Allah subhaanahu
wa ta’ala. Dengan kata lain kalau seseorang masih berbuat maksiat atau
suatu hal yang tidak dicintai dan diridlai Allah berarti kecintaannya dan
ketakutannya terhadap Allah sangat rendah, bahkan dapat dikatakan orang
tersebut tidak mengharapkan atau tidak percaya terhadap janji-janji Allah dan
meremehkan ancaman-ancaman Allah subhaanahu wa ta’ala. Na’uudzu
billahi min-dzaalik.
Dari dalil-dalil dan keterangan di atas dapat diketahui
bahwa tauhid ibadah (uluhiyyah) adalah hakekat makna Laa ilaaha
illallaah yang mengandung nafi (peniadaan) dan itsbat
(penetapan). Makna nafi adalah meniadakan segala macam peribadatan
kepada selain Allah bagaimanapun bentuk dan macamnya, atau peniadaan segala
macam bentuk ketuhanan. Sedangkan makna itsbat adalah menetapkan
ke-Esa-an Allah dalam beribadah dengan berbagai bentuk ibadah yang sesuai
dengan tuntunan syari’at Islamiyyah yang telah disampaikan oleh Muhammad shallallaahu
’alaihi wa sallam dan penetapan bahwa tidak ada ilah yang berhak
untuk diibadahi kecuali Allah saja. Dua kandungan di atas – yaitu nafi dan
itsbat – tidak boleh dipisahkan dan harus dipahami dan diambil keduanya.
Karena kalau diambil salah satu saja, tidaklah seseorang dikatakan muslim.
Misalnya, seseorang yang mengambil nafi saja tanpa itsbat,
berarti dia seorang komunis karena dia meniadakan segala macam bentuk ketuhanan
tanpa menetapkan ketuhanan bagi Allah. Begitu pula sebaliknya, apabila
seseorang hanya mengambil itsbat saja tanpa nafi, dia juga bukan
seorang muslim. Bahkan dia seorang kafir karena disamping menetapkan Allah
sebagai ilah, ia juga menetapkan selain Allah sebagai ilah.
Penyebabnya adalah karena dia tidak mengingkari tuhan-tuhan selain Allah
sebagaimana orang-orang kafir Quraisy yang disamping mengakui Allah sebagai
Rabb alam semesta, juga mengakui adanya sesembahan selain Allah seperti Latta,
’Uzza, dan lain-lain. Dengan perbuatan mereka ini, Allah dan Rasul-Nya
menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Oleh sebab itu tidaklah
cukupseseorang mengambil nafi sajatanpa itsbat, begitu pula itsbat
saja tanpa nafi. Kalau seseorang mengakui dirinya seorang muslim,
maka wajib baginya untuk mengambil, meyakini, dan mengamalkan keduanya secara
bersamaan tanpa memisah-misahkannya dalam rangka membenarkan persaksian (syahadat)
Laa ilaaha illallaah (tiada Rabb yang berhak untuk diibadahi dengan
benar kecuali Allah).
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keesaan Allah dalam uluhiyyah-Nya
adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا
فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" [QS. Al-Anbiyaa’ : 25].
Juga firman-Nya :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (=
segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia ridla dengan peribadatannya
tersebut)" [QS. An-Nahl : 36].
Juga firman-Nya :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا
إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا
إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Ali-’Imran : 18].
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang sangat jelas akan
keesaan Allah dalam hal uluhiyyah-Nya.
Kerancuan (syubhat) yang biasa dilontarkan oleh
sebagian manusia adalah pernyataan mereka : ”Bagaimana kamu menyatakan tidak ada
Rabb (Tuhan) selain Allah sedangkan Allah sendiri menyatakan keberadaan
tuhan-tuhan selain-Nya ? sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ
إِلَهًا آخَرَ
”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah,
tuhan apapun yang lain” [QS.
Al-Qashash : 88].
Juga firman-Nya :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ
إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ
”Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping
Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu” [QS. Al-Mukminun : 117].
Juga firman-Nya :
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ
آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
”Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah” [QS. Huud : 101].
Jawaban atas kerancuan tersebut :
Pertama, yang
perlu diketahui bahwa ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang bathil atau
tidak hak (benar), walaupun tuhan-tuhan tersebut diibadahi atau disembah oleh
orang-orang yang bodoh dan sesat. Sesungguhnya tuhan-tuhan tersebut adalah
sesuatu yang tidak pantas untuk diibadahi sebagaimana firman-Nya :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil” [QS. Luqman : 30].
Kedua, sebutan
tuhan bagi tuhan-tuhan selain Allah adalah sekedar penamaan saja sebagaimana
firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ
سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan
bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun
untuk (menyembah) nya” [QS.
An-Najm : 23].
Dua macam tauhid di atas (Tauhid Rububiyyah dan Tauhid
Uluhiyyah) tidak ada yang menentangnya dan tidak ada pula yang
mengingkarinya dari kalangan ahli kiblat yang menyandarkan diri kepada Islam,
kecuali orang yang berlebih-lebihan dari kalangan Syi’ah Rafidlah. Mereka
menyatakan bahwa ’Ali bin Abi Thalib adalah tuhan sebagaimana yang dilakukan
oleh ’Abdullah bin Saba’ (pemimpin Syi’ah yang pertama) yang datang kepada ’Ali
bin Abi Thalib dan berkata kepadanya : ”Kamu (wahai ’Ali) adalah Allah yang
sebenarnya”. Akan tetapi ’Abdullah bin Saba’ adalah Yahudi yang berpura-pura
masuk Islam. Dengan pengakuan ingin melindungi keluarga Rasulullah, dia
berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Perbuatan ’Abdullah bin Saba’ ini
diingkari oleh ’Ali bin Abi Thalib dan beliau tidak ridla kepada siapa saja
yang menempatkan dirinya lebih dari semestinya. Karena beliau juga seorang
hamba Allah, bahkan di atas mimbar Kuffah beliau berkata : ”Sebaik-baik umat
setelah Nabi-Nya (shallallaahu ’alahi wa sallam) adalah Abu Bakar,
kemudian ’Umar”. ’Ali juga memerintahkan untuk membakar ’Abdullah bin Saba’ dan
pengikut-pengikutnya. Yang jelas, kedua macam tauhid di atas tidak ada yang
mengingkari secara terang-terangan dari ahli kiblat (kaum muslimin) walaupun
ada dari kalangan ahli bid’ah yang mengingkarinya dengan berbagai penakwilan
(penyelewengan makna).
Tauhid Asmaa’ wa Shifat
Tauhid Asmaa’ wa Shifat Allah adalah : Berkeyakinan dengan keyakinan yang pasti
tentang nama-nama Allah, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya yang termuat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa merubah-rubah atau menolak atau menanyakan
bagaimana hakekatnya atau menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalil tentang Tauhid
Asmaa’ wa Shifaat ini adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama
yang terbaik)” [QS. Al-Israa’ : 110].
Juga firman-Nya :
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
”Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan
Dia)?” [QS. Maryam : 65].
Juga firman-Nya :
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
”Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaulhusna (nama-nama yang baik)” [QS. Thaha : 8].
Juga firman-Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ayat-ayat di atas merupakan hujjah yang menyatakan
tentang tauhid asma’ wa shifat Allah.
Dalam mengimani nama-nama Allah subhaanahu wa ta’ala ada
beberapa kaedah, antara lain :
1. Semua nama Allah adalah terbaik dan berada dalam puncak
kebaikan. Karena nama Allah mengandung atau menunjukkan sifat-Nya yang
sempurna, tidak ada cacat atau kekurangan dari segi apapun. Seperti Al-Hayyu
(الْحَيُّ) ”Yang
Maha Hidup”, salah satu dari nama Allah yang mengandung arti bahwa Allah hidup
secara mutlak, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak pula berakhir dengan
kebinasaan. Dia hidup dengan kesempurnaan-Nya.
2. Nama Allah adalah nama sekaligus sifat bagi-Nya subhaanahu
wa ta’ala. (Al-Hayyu, Al-’Aliim, As-Samii’) ”Yang Maha Hidup, Yang
Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar” ; semua adalah nama untuk Dzat yang satu,
yaitu Allah subhaanahu wa ta’ala. Nama-nama tersebut mengandung makna
dan sifat yang berbeda-beda, karena makna Al-Hayyu lain dengan makna Al-’Aliim
dan lain pula dengan makna As-Samii’. Dan begitu pula
nama-nama Allah yang lain. Nama Al-Hayyu mengandung sifat al-hayat
(hidup), Al-’Aliim mengandung sifat al-’ilmu (ilmu/mengetahui), As-Samii’
mengandung sifat as-sam’u (mendengar). Dan begitu pula nama-nama Allah
yang lain.
3. Nama Allah yang mengandung sifat Muta’addi (sifat
yang pengaruhnya mengenai makhluk-Nya), ia mengandung tiga perkara :
a. Penetapan nama tersebut untuk Allah.
b. Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut
bagi-Nya.
c. Penetapan hukum dan pengaruh-Nya.
Contohnya : As-Samii’ – salah satu nama Allah yang
artinya Yang Maha Mendengar. Lafadh tersebut ditetapkan sebagai nama Allah dan
ditetapkan pula sebagai sifat Allah. Adapun hukum dan pengaruhnya adalah Dia
mendengar apa saja, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak pada makhluk-Nya.
Sedangkan jika nama Allah menunjukkan sifat yang lazim
(yang tidak berpengaruh kepada yang lainnya), maka ia menunjukkan dua perkara :
- Penetapa nama bagi-Nya.
- Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut untuk-Nya.
Seperti nama Al-Hayyu yang berarti Yang Maha
Hidup. Maka lafadh Al-Hayyu ditetapkan sebagai nama Allah dan sekaligus
sifat bagi Allah semata.
4. Nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat dan sifat-Nya
sesuai dengan kandungannya, nama dan sifat itu akan terus ada dan tidak pernah
sirna, seperti : Al-Khaaliq, salah satu nama Allah yang artinya Yang
Maha Menciptakan – menunjukkan atas Dzat dan sifat Allah yang mengandung makna
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Dua tetap dan terus-menerus sebagai
Sang Pencipta.
5. Nama-nama Allah semuanya harus diambil dari Al-Qur’an
atau As-Sunnah. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya. Oleh karena itu
janganlah menambah atau menguranginya, karena nama-nama Allah adalah merupakan
permasalahan ilmu yang ghaib, dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.
6. Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah
tertentu sebagaimana diterangkan dalam hadits yang masyhur tentang doa ketika
dalam kesedihan :
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ
هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ
أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ
عِنْدَكَ
”(Ya Allah), aku minta dengan (menyebut) segala nama yang
Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan pada
kitab-Mu, atau Engkau ajarkan pada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau
tentukan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu...” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
Dalil ini menunjukkan ketidakterbatasan nama Allah.
Adapun nama Allah yang disebutkan dalam hadits 99 (sembilan puluh sembilan)
nama tidak menunjukkan batas akhir. Hadits yang menunjukkan perincian atau
penyebutan nama-nama-Nya yang berjumlah 99 adalah lemah.
7. Haram bagi seseorang untuk mengingkari, menolak
sifat-sfat Allah, atau menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Tentang masalah sifat-sfat Allah, Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah (tahrif), mengingkari (ta’thil),
menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih)
dengan sifat makhluk-Nya.
Tahrif (merubah)
artinya merubah makna yang terkandung dalam sifat tersebut. Seperti perkataan
Jahmiyyah tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah menjadi istaulaa’
(menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-ghadlab
(marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa);
dan makna ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak
untuk memberi nikmat). Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa makna istiwaa’
bagi Allah adalah bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam
ketinggian yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab
dan ar-rahmah, adalah sifat bagi Allah secara hakekat sesuai dengan
kemuliaan Allah dan keagungan-Nya.
Ta’thil (menolak)
adalah mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah dan semisalnya. Pengingkaran
yang mereka lakukan merupakan puncak kebatilan. Padahal dalam Al-Qur’an dan
As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sfat Allah yang sesuai dengan keagungan
dan kebesaran-Nya.
Tasybih (menyerupakan)
adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu
kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah seperti sifat kita.
Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya
sesuatupun.
Adapun makna takyif (menanyakan bagaimananya)
adalah menanyakan bagaimana hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana istiwaa’-nya
Allah ? Atau menanyakan bagaimana wajah dan tangan Allah ? Yang seharusnya kita
lakukan adalah kita beriman akan keberadaan sifat Allah yang telah ditetapkan
oleh Al-Qur’an mauoun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menanyakan
bagaimana hakekat sifat itu, karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah
mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.
Pedoman yang harus dipegang oleh setiap muslim adalah :
1. Semua sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna,
tidak memiliki kekurangan sama sekali dari segi apapun.
2. Sifat Allah dibagi menjadi dua :
- Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur kekurangan sama sekali.
- Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik peniadaan tersebut termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-kan tersebut berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain. Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari Allah subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat tersebut.
3. Semua sifat Allah harus berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya.
Dari dalil-dalil pada pembagian di atas dapat diketahui
oleh siapa saja tentang kebenaran pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu :
Ø Tauhid Rububiyyah.
Ø Tauhid Uluhiyyah.
Ø Tauhid Asmaa’ wa Shifat.
Orang yang mengingkari pembagian tauhid ini adalah orang
yang mengingkari sesuatu tanpa ilmu dan berbicara atas nama Allah tanpa
didasari ilmu. Karena orang yang mempunyai ilmu sedikit saja dari kalangan
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia berada dan kapan saja, mesti akan
mengetahui kebenaran pembagian tersebut. Seseorang tidak dikatakan beriman
kalai ia tidak mengimani tiga macam tauhid di atas. Barangsiapa mengimani tauhid
rububiyyah saja, maka ia belum dikatakan mukmin. Demikian juga kalau dia
hanya mengimani tauhid uluhiyyah atau tauhid asmaa’ wa shifaat
saja. Jadi, seseorang dikatakan mukmin kalau dia mengimani ketiga macam tauhid
di atas.
PERKATAAN ULAMA
SALAF TENTANG PEMBAGIAN TAUHID
Berikut ini adalah perkataan ulama salaf sebelum zaman Ibnu Taimiyyah tentang pembagian Tauhid.
1. AL-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit w. 150H, berkata dalam kitab Fiqhul Absath hal 51:
“Allah تعالى itu diseru dengan sifat yang tinggi bukan dengan sifat rendahan, karena sifat yang rendah bukanlah termasuk sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun”.
2. Ibnu Jarir Ath-Thobari w. 310H, berkata dalam tafsirnya terhadap firman Allah تعالى QS. Muhammad 19: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang pantas atau layak bagi-Nya untuk disembah, dan tidak boleh bagimu dan bagi seluruh makhluk untuk menyembahnya kecuali Allah تعالى yang menciptakan para makhluk, Penguasa seluruh alam, yang segala sesuatu tunduk padanya dengan kekuasaan Rububiyyah-Nya”.
3. Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi w. 321H, berkata dalam mukaddimah kitab Ath-Thohawiyyah:
“Kami katakan dengan penuh keyakinan –semoga Allah تعالى memberikan curahan taufiknya- dalam masalah pengesaan terhadap Allah تعالى : Allah itu maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu yang sepadan dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang mampu mengalahkan-Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq melainka Dia”.
4. Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti w. 354H, berkata dalam mukaddimah kitab Roudhotul Uqola’ wa Nuzhatul Fudholaa’:
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dalam ke-esaan Uluhiyyah-Nya, yang maha mulia dengan Rubbubiyyah-Nya, yang mengurusi segala yang hidup dengan ketentuan ajal…
Berikut ini adalah perkataan ulama salaf sebelum zaman Ibnu Taimiyyah tentang pembagian Tauhid.
1. AL-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit w. 150H, berkata dalam kitab Fiqhul Absath hal 51:
“Allah تعالى itu diseru dengan sifat yang tinggi bukan dengan sifat rendahan, karena sifat yang rendah bukanlah termasuk sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun”.
2. Ibnu Jarir Ath-Thobari w. 310H, berkata dalam tafsirnya terhadap firman Allah تعالى QS. Muhammad 19: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang pantas atau layak bagi-Nya untuk disembah, dan tidak boleh bagimu dan bagi seluruh makhluk untuk menyembahnya kecuali Allah تعالى yang menciptakan para makhluk, Penguasa seluruh alam, yang segala sesuatu tunduk padanya dengan kekuasaan Rububiyyah-Nya”.
3. Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi w. 321H, berkata dalam mukaddimah kitab Ath-Thohawiyyah:
“Kami katakan dengan penuh keyakinan –semoga Allah تعالى memberikan curahan taufiknya- dalam masalah pengesaan terhadap Allah تعالى : Allah itu maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu yang sepadan dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang mampu mengalahkan-Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq melainka Dia”.
4. Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti w. 354H, berkata dalam mukaddimah kitab Roudhotul Uqola’ wa Nuzhatul Fudholaa’:
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dalam ke-esaan Uluhiyyah-Nya, yang maha mulia dengan Rubbubiyyah-Nya, yang mengurusi segala yang hidup dengan ketentuan ajal…
5. Ibnu Abi Zaid Al-Qoirowani Al-Maliki w. 386H
menyebutkan dalam kitab Aqidah-nya:
“Termasuk kedalamnya: Beriman dengan hati serta mengucapkan dengan lisan bahwa Allah adalah sesembahan yang Esa, tidak ada sesembahan selain-Nya, tidak ada yang serupa dan sebanding dengan-Nya, Dia tidak memiliki anak dan orang tua. Tidak ada pembantu dan sekutu, tidak ada permulaan dalam uluhiyyah-Nya, serta tidak ada penghabisan bagi yang selain-Nya. Tidak mungkin menjangkau kesempurnaan sifat sifat Allah dengan sekedar sifat sifat yang disebutkan oleh orang orang yang mensifatinya, dan kaum cendikiawan tidak akan bisa menjangkau urusan Allah dengan olah pikirnya”.
Sampai Beliau berkata: “Ingatlah Dia adalah Rabb para hamba dan Rabb dari perbuatan perbuatan mereka.
6. Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ubaidulloh bin Muhammad bin Baththoh Al-‘Akbari w. 387H, dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Syariati Al-Firqotin Najiyah wa Mujanibatil Firqotil Madzmumah:
“Sesungguhnya prinsip keimanan kepada Allah تعالى yang wajib diyakini oleh para makhluk dalam hal keimanan kepada-Nya ada tiga bagian:
Pertama: Seseorang hamba harus meyakini Rabbaniyyah Allah. Yang demikian itu sebagai pemisah antara madzhab ahlul tha’thil yang tidakmenetapkan adanya pencipta.
Kedua: Seorang hamba harus meyakini keesaan Allah. Hal ini untuk membedakan dengan madzhab pelaku syirik yang menetapkan adanya pencipta namun menyekutukan Allah dalam peribadatannya.
Ketiga: Dia harus meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat sifat sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, seperti Qudroh, hikmah, dan seluruh apa yang Dia sifatkan didalam kitab-Nya”.
7. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy w. 520H, dalam mukaddimah kitab Sirajul Muluk (1/7):
“Dan aku bersaksi bahwa sungguh bagi Allah sifat Rububiyyah dan Ke-Esaan, dan dengan apa apa yang Allah telah persaksikan bagi diri-Nya dan Nama nama-Nya baik dan sifat sifat-Nya yang maha tinggi serta sifat sifat-Nya yang maha sempurna”.
8. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi w. 671 berkata dalam tafsirnya (1/72):
“Maka Allah adalah nama yang menunjukkan keberadaan yang haq, terkandung didalam-Nya sifat sifat Ilahiyyah, yang bersifat dengan sifat Rububiyyah. Maha tunggal dengan keberadaan-Nya yang hakiki. Tidak ada sesemgahan yang haq melainkan Dia”.
Beliau juga berkata dalam tafsirnya (5/118):
“Dasar kesyirikan yang diharamkan adalah berkeyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam Uluhiyyah-Nya, dan ini adalah kesyirikan yang terbesar, dan kesyirikan yang dilakukan oleh orang orang jahiliyyah. Bentuk kesyirikan yang lainnya adalah keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam perbuatan walaupun dia tidak meyakini ketuhanan hal tersebut, seperti perkataan orang: “Sesungguhnya selain Allah memungkinkan untuk mengadakan dan menciptakan dengan tanpa adanya keterkaitan”.
“Termasuk kedalamnya: Beriman dengan hati serta mengucapkan dengan lisan bahwa Allah adalah sesembahan yang Esa, tidak ada sesembahan selain-Nya, tidak ada yang serupa dan sebanding dengan-Nya, Dia tidak memiliki anak dan orang tua. Tidak ada pembantu dan sekutu, tidak ada permulaan dalam uluhiyyah-Nya, serta tidak ada penghabisan bagi yang selain-Nya. Tidak mungkin menjangkau kesempurnaan sifat sifat Allah dengan sekedar sifat sifat yang disebutkan oleh orang orang yang mensifatinya, dan kaum cendikiawan tidak akan bisa menjangkau urusan Allah dengan olah pikirnya”.
Sampai Beliau berkata: “Ingatlah Dia adalah Rabb para hamba dan Rabb dari perbuatan perbuatan mereka.
6. Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ubaidulloh bin Muhammad bin Baththoh Al-‘Akbari w. 387H, dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Syariati Al-Firqotin Najiyah wa Mujanibatil Firqotil Madzmumah:
“Sesungguhnya prinsip keimanan kepada Allah تعالى yang wajib diyakini oleh para makhluk dalam hal keimanan kepada-Nya ada tiga bagian:
Pertama: Seseorang hamba harus meyakini Rabbaniyyah Allah. Yang demikian itu sebagai pemisah antara madzhab ahlul tha’thil yang tidakmenetapkan adanya pencipta.
Kedua: Seorang hamba harus meyakini keesaan Allah. Hal ini untuk membedakan dengan madzhab pelaku syirik yang menetapkan adanya pencipta namun menyekutukan Allah dalam peribadatannya.
Ketiga: Dia harus meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat sifat sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, seperti Qudroh, hikmah, dan seluruh apa yang Dia sifatkan didalam kitab-Nya”.
7. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy w. 520H, dalam mukaddimah kitab Sirajul Muluk (1/7):
“Dan aku bersaksi bahwa sungguh bagi Allah sifat Rububiyyah dan Ke-Esaan, dan dengan apa apa yang Allah telah persaksikan bagi diri-Nya dan Nama nama-Nya baik dan sifat sifat-Nya yang maha tinggi serta sifat sifat-Nya yang maha sempurna”.
8. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi w. 671 berkata dalam tafsirnya (1/72):
“Maka Allah adalah nama yang menunjukkan keberadaan yang haq, terkandung didalam-Nya sifat sifat Ilahiyyah, yang bersifat dengan sifat Rububiyyah. Maha tunggal dengan keberadaan-Nya yang hakiki. Tidak ada sesemgahan yang haq melainkan Dia”.
Beliau juga berkata dalam tafsirnya (5/118):
“Dasar kesyirikan yang diharamkan adalah berkeyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam Uluhiyyah-Nya, dan ini adalah kesyirikan yang terbesar, dan kesyirikan yang dilakukan oleh orang orang jahiliyyah. Bentuk kesyirikan yang lainnya adalah keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam perbuatan walaupun dia tidak meyakini ketuhanan hal tersebut, seperti perkataan orang: “Sesungguhnya selain Allah memungkinkan untuk mengadakan dan menciptakan dengan tanpa adanya keterkaitan”.
Imam Syafi’i Berbicara Tentang Tauhid Asma’ Wa
Shifat
1.
Imam Syafi'i pernah ditanya tentang sifat-sifat
Alloh Subhanahu wa Ta'ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh
Subhanahu wa Ta'ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan
oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang
pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena
Al-Qur'an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa
yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum
tegaknya hujjah, ia adalah ma'dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama
dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta'ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal
dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa Dia memiliki
sifat "Yadaini" (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya:
"Tetapi kedua tangan Alloh terbuka" (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki
wajah, dengan firmanNya, yang artinya: "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali wajahNya" (QS: Al-Qashash: 88)." (Manaqib Asy-Syafi'i,
Al-Baihaqi, 1/412-413; Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar
A'lam An-Nubala', Adz-Dzahabi, 10/79-80; Ijtima' Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul
Qayyim, 94).
2.
Sumber aqidah Imam Syafi'i
adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan
seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar)
Kitabulloh atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan
Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya).
Wallahu a'lam. ( Manaqibusy Syafi'i, 1/470&475)
3.
Dari Ar-Robi’ bin Sulaiman:
Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, atau dengan
nama-namaNya yang lain, lalu ia melanggarnya, maka ia wajib membayar kaffarot
(tebusan). (Manaqib Syafi’i 1/405). Yang demikian itu: “Karena nama-nama Alloh
itu bukanlah makhluk, maka barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, lalu
melanggarnya, maka wajib atasnya membayar kaffarot”. (Adab syafi’i libni Abi
Hatim, Al-Hilyah li Abi Nu’aim 9/112, Sunan Kubro lil baihaqi 1/28, Al-Asma was
shifat lil baihaqi 255-256, Syarhus sunnah lil baghowi 1/188, Al-Uluw lidz
Dzahabi 121, Mukhtashorul Uluw lil albani 77)
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
1 komentar:
Write komentarAlhamdulillah...
ReplyEmoticonEmoticon